"Tadi siang kamu ke mana? Aku cari nggak ada, telfon nggak diangkat."
"Kiki keluar sebentar."
"Ketemu Aston?"
"Fahmi, apa sih. Selalu sangkut pautin sama Aston."
"Kenyataannya emang ada sangkut pautnya, kan?"
"Fahmi, udah deh. Semakin dewasa semakin kaya anak kecil."
Fahmi mengernyit, "Jadi benar kamu ketemu Aston?"
"Cuma makan doang, nggak lebih."
"Loh, memang yang lebih itu yang seperti apa?"
Deg. Kiki salah bicara rupanya. Dia lupa jika dia sedang berhadapan dengan Fahmi, lelakinya yang tidak bisa dikalahkan jika dalam perdebatan. Pasti Kiki selalu kalah dan menyerah, Fahmi selalu memiliki jawaban-jawaban untuk membalik keadaan, dan membujuk Kiki. Begitulah Muhammad Fahmi.
"Terus ngapain pakai keluar sama dia? Kalau emang pengen makan, suruh aja dia ke sini. Ke hotel. Makan sama-sama, sama aku juga. Cuma makan kan tujuannya?"
Kiki terdiam. Fahmi benar. Jika memang kemarin itu hanya makan siang, maka tidak ada salahnya jika Aston ke hotel untuk makan bersama Kiki dan Fahmi. Tapi kenyataannya kemarin tidak hanya tentang makan siang bersama Aston, kemarin adalah tentang pengakuan yang Kiki sendiri tidak menyangka jika Aston akan mengakui hal semacam itu. Seharusnya Aston tidak begitu.. menurut Kiki.
"Ki, kamu tahu kan kalau sebuah hubungan harus berasaskan kejujuran?"
"Kiki cuma makan, beneran." Kiki melihat Fahmi dengan mata yang sudah berkaca-kaca, dia takut Fahmi marah.
Fahmi menghela nafas berat, "Ya udah, beresin baju kamu. Kita pulang ke Bandung sekarang."
"Ha?! Kok mendadak?"
"Om Keenan lusa berangkat, nggak mungkin kan berangkat dari sini?"
"Ta-tapi ini mendadak, Fahmi. Kenapa Kiki nggak tahu kalau lusa Ayah harus berangkat?"
"Lho, lalu masalahnya apa? Kamu udah wisuda, udah nggak ada alasan buat di sini lagi, kan?"
"Tap-"
"Kenapa? Kamu masih ingin di sini? Ada sesuatu yang nggak bisa kamu tinggal?"
Kiki terdiam.
Kiki dan keluarganya berencana untuk tinggal beberapa hari di sini, kenapa mendadak mereka harus pulang ke Bandung? Kiki harus bertanya pada Keenan.
"Nggak gitu, Fahmi."
Fahmi hanya diam menatap gadisnya tajam.
"Lalu?"
"Ya kenapa mendadak aja. Kan aneh."
"Lebih aneh mana sama kamu yang nggak mau pulang ke Bandung? Tiga tahun lebih kamu nggak pulang ke Bandung, dan sekarang aku di sini buat pulang sama-sama sama kamu, Ki."
Kiki menghela nafas panjang.
"Iya. Kita pulang ke Bandung. Kiki mau ketemu Ayah dulu."
Fahmi hanya mengedikkan bahunya dan berbalik meninggalkan Kiki. Fahmi butuh waktu sendiri. Dia harus berdiskusi dengan dirinya sendiri tentang apa yang harus dia lakukan terhadap Kiki yang mulai berubah.
"Ayah?" Kiki mengetuk pintu kamar Keenan dan Amira.
"Masuk sayang." Suara lembut Amira terdengar.
Benar, Amira sedang berkemas dibantu oleh Keenan.
"Kita beneran pulang sekarang?"
"Iya. Maaf ya mendadak, Ayah harus kembali kerja lusa, rupanya ada kapal yang harus Ayah kemudikan, nahkodanya sedang sakit."
"Jadi benar, ya?" Kiki bergumam lirih.
"Kenapa? Adek belum mau pulang?" Tanya Amira.
Kiki menggeleng, tidak tahu.
Amira tersenyum, "Kalau Adek belum mau pulang, nggak apa. Adek di sini dulu. Bunda tahu nggak gampang buat pulang ke Bandung, Adek main-main dulu sama teman-teman, nggak papa."
Mata Kiki berbinar, "Bener Bunda?"
Amira mengangguk.
"Tapi harus sama Fahmi." Imbuh Keenan.
Kiki mengerutkan kening, "Kenapa?"
"Karena Ayah percayanya sama Fahmi."
"Tapi Ayah-"
"Sama Fahmi atau nggak sama sekali."
"O-oke." Kiki menyerah.
Setelah mengantarkan Keenan, Amira, dan Ken ke bandara, Kiki dan Fahmi kini berada di kedai kopi di dekat kampus Kiki.
"Nanti sahabat Kiki ke sini, nggak apa kan?"
"Siapa? Aston?"
"Ck. Apa sih Fahmi. Apa-apa Aston." Kiki mencibir.
"Kamu yang apa-apa Aston. Seharusnya kamu bisa sedikit menghargai aku, Ki. Kemarin kamu pergi sama dia nggak bilang juga, kan?"
"Kiki cuma makan aja, kok."
"Makan ngapain harus keluar? Kita udah pernah bahas ini, ya. Dan ujung-ujungnya cuma mentok di kamu kemarin cuma makan aja."
"Fahmi sendiri yang bahas itu terus."
"Loh, kamu sendiri yang membuat pembahasan itu ada, Ki."
"Ngapain Fahmi pulang kalau cuma ngajakin Kiki berdebat?"
Fahmi menghela nafas, "Aku nggak ngajak berdebat. Aku cuma pengen kamu hargai aku, itu aja. Aku-"
"Hai, Ki!" Suara Innayah terdengar.
"Inn!" Kiki berdiri memeluknya.
"Rasanya udah lama nggak ketemu."
"Sombong, mentang-mentang udah lulus." Cibir Innayah yang dibalas kekehan oleh Kiki.
"Dia, siapa?" Tanya Innayah berbisik.
Kiki tersenyum, "Seseorang yang Innayah pengen temuin selama ini."
"Fahmi? Dia Fahmi?" Innayah terkejut.
Kiki tersenyum dan mengangguk.
Fahmi mengulurkan tangannya, "Fahmi."
"Innayah."
"Ya Allah, Ki. Ganteng banget! Pantesan kamu nggak pernah berpaling dari dia, mau LDR bertahun-tahun juga pasti kamu tungguin, orang ganteng banget gini." Innayah terkagum-kagum melihat ketampanan Fahmi.
Fahmi hanya terkekeh.
"Ganteng, tapi posesif!" Cibir Kiki.
Fahmi hanya menatap Kiki tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEEYARA 2
Teen FictionSquel K E E Y A R A, jadi anggap saja ini K E E Y A R A dua, ya. Yang selama ini nunggu-nunggu, terimakasih. Ini kisah Kiki dan Fahmi dewasa, yang lebih mengerti apa arti hidup dan cinta. Tentu saja lebih pelik, dengan segala keputusan-keputusan yan...