Seminggu berlalu setelah penolakan sepihak yang Kiki lakukan. Sampai sekarang, Kiki tidak pernah keluar rumahnya, bahkan ke teras sekalipun. Begitupun Fahmi, tidak pernah ke rumah Kiki lagi. Rumah mereka berhadapan, tapi perasaan mereka saling memunggungi.
Fahmi sedang bermain gitar di teras depan rumahnya, dengan Somad yang sedang memandikan burung di dekatnya.
"Kamu nggak pengen ketemu Kiki, Mi?"
Fahmi hanya diam saat Somad bertanya kepadanya.
"Mi, kebiasaan menghindar hanya dilakukan oleh perempuan. Lelaki memang ditakdirkan untuk mengejar." Ucap Somad lagi.
"Bukannya lebih enak kalau berjalan bersama ya, Pa? Nggak saling kejar dan saling berlari menjauh."
"Sebelum jalan bersama kita harus janjian dulu, mengosongkan jadwal, dan ritual-ritual untuk pertemuan lainnya yang tentunya enggak mudah. Coba kamu temuin Kiki, bicarakan baik-baik, Papa rasa Kiki hanya belum siap. Mungkin Kiki merasa bahwa dia baru lulus kemarin, dan belum siap untuk ketahap yang lebih serius."
"Seharusnya semua wanita suka ketika diberi kepastian, kecuali mereka yang memang hanya ingin bermain-main." Fahmi meletakkan gitarnya dan masuk ke dalam rumah.
Somad menggelengkan kepalanya pelan. Anak tunggalnya itu tidak pernah berubah, Somad jadi ingat ketika Kiki masuk rumah sakit dan Fahmi tetap tidak ingin menjenguknya, meski akhirnya dia menyerah dan memutuskan untuk menjenguk Kiki. Somad tahu betul jika Kiki adalah kelemahan Fahmi, berdiam diri dan menjauh seperti ini tidak akan mampu Fahmi lakukan dalam waktu yang lama.
Keesokan harinya, Fahmi di rumah sendirian. Rasanya Fahmi sangat bosan. Setelah pulang dari Belanda, Fahmi ditawari untuk bekerja di perusahaan Somad, tapi Fahmi bukan tipe anak yang terus bergantung kepada orang tuanya. Fahmi adalah lelaki egois dengan ambisi yang tinggi, dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia ingin, dia akan bekerja keras dengan kemampuannya sendiri.
Di rumah, Kiki sedang makan siang ditemani Ken yang menonton televisi.
"Dek, kenapa sih nggak terima Fahmi?" Ken bertanya setelah seminggu menahan rasa penasarannya.
Kiki yang sedang makan tersedak, buru-buru ia minum karena tenggorokannya sangat panas.
"Abang ngapain tanya itu?" Kiki malas.
"Lo nggak cinta lagi sama Fahmi?"
Kiki memicing, tidak semudah itu untuk tidak lagi mencintai Fahmi. Tentu saja Kiki cinta. Setelah belasan tahun, penantian yang selama itu hanya akan berakhir karena tidak lagi mencintai? Ayolah, Kiki bukan anak SMA lagi.
"Ini bukan masalah cinta apa nggak cinta. Kalau Kiki tanya, Abang kenapa nggak nikah sama Kak Salsa?"
Ken menatap Kiki tajam, untuk apa Kiki berbalik bertanya kepadanya.
"Abang nggak semudah itu buat nikah sama Salsa. Abang kan laki-laki, Abang harus punya persiapan yang matang. Nggak mungkin kan Abang ngebiarin anak orang kelaparan."
"Fahmi juga laki-laki, harusnya Fahmi mempersiapkan segalanya. Biar Kiki nggak kelaparan."
"Oh, lo takut Fahmi nggak bisa kasih lo makan? Fahmi nggak mungkin sekere itu kali. Dia lulusan Belanda, ya kali nggak bakal dapet kerjaan. Om Somad juga kaya. Perusahaannya pasti bakal ke Fahmi, kan dia anak tunggal."
"Tapi kan Fahmi kuliah dihukum, nggak mungkin bisa kuasai perusahaan sebesar punya Abah."
"Fahmi kuliah di Belanda dihukum? Ck. Ngapain kuliah jauh-jauh kalau cuma mau dihukum." Ken menggeleng.
Kiki mendengus, Abangnya ini sangat menyebalkan.
"Bukan dihukum karena melanggar peraturan, Abang. Ih, tahu ah!"
Ken tergelak.
"Sana, ke rumah Fahmi. Jelasin apa yang pengen lo jelasin."
"Kenapa nggak Fahmi yang ke sini?"
"Kenapa Fahmi nggak berjuang?"
Ken menghembuskan nafas pasrah, "Dek, Fahmi kurang berjuang apa sih? Fahmi ngambil keputusan untuk serius, apa itu bukan bentuk perjuangan? Kenapa sih wanita selalu ingin diperjuangkan? Setelah apa yang mereka lakuin, mereka masih pengen diperjuangin? Padahal mereka sendiri yang bikin kami kaum lelaki berhenti berjuang."
"Dunia ini terlalu sempit untuk menyuapi gengsimu, Dek. Pikirin baik-baik." Ken beranjak meninggalkan Kiki sendiri setelah mengelus rambut halus Kiki.
Kiki termenung. Bukannya ingin disuapi terus oleh dunia, bukannya Kiki kelaparan karena gengsinya. Hanya saja Kiki tidak bisa. Kenapa pula Fahmi tidak ingin berjuang lebih keras lagi? Sekedar menemui Kiki di rumahnya saja tidak pernah. Fahmi, kau sedang berada di titik jenuh?
Atau memang kesabaranmu dan kegigihanmu untuk berjuang sudah habis?
Rupanya Kiki belum sepenuhnya mengerti arti kehadiran Fahmi di hidupnya. Selama ini Fahmi selalu sabar menghadapi sikap Kiki yang kekanak-kanakan, direpotkan oleh Kiki dalam segala hal, dan berusaha mengalahkan semua lelaki yang ingin mendekati Kiki. Fahmi tahu betul, para lelaki di luar sana siap untuk saling membunuh hanya untuk mendapatkan Kiki. Dan hal itu juga dilakukan oleh Fahmi. Fahmi siap saling bunuh dengan siapapun yang berusaha merebut Kiki darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEEYARA 2
Ficção AdolescenteSquel K E E Y A R A, jadi anggap saja ini K E E Y A R A dua, ya. Yang selama ini nunggu-nunggu, terimakasih. Ini kisah Kiki dan Fahmi dewasa, yang lebih mengerti apa arti hidup dan cinta. Tentu saja lebih pelik, dengan segala keputusan-keputusan yan...