Bab 16

1.2K 81 4
                                    

"Bunda, ayo cepat!"

Pagi-pagi sekali, Kiki sudah siap dengan kebaya dan pakaian wisudanya. Kiki menyewa perias untuk merias wajahnya. Wajar saja, gadis itu tidak bisa berdandan.

Dandanan Kiki sangat sederhana, tapi terlihat cantik dan natural. Kebaya warna pink dengan rok batik dan tatanan rambut yang tidak disanggul, hanya dikuncir dan dimasukkan ke dalam.

"Cantik bener." Ken berdiri di depan pintu dengan baju batik yang rapi.

"Cantik, ya, Bang? Makasih."

Ken tergelak, "Udah gede adek gue."

"Mana kadonya?"

"Ada. Kado dari Abang paling spesial."

"Mana coba?"

"Nanti dong, yang spesial ngasihnya nanti. Diakhir."

Kiki mencibir gaya Ken yang selalu tengil.

"Kok nggak ngajak Kak Salsa, sih?"

"Salsa kerja. Dia titip salam buat lo."

"Yah, padahal Kiki kangen."

"Nanti deh, kalau pulang ke Bandung, gue ajak main ke rumah. Ayo berangkat, nanti telat." Ken mengajak semua berangkat.

Jalanan Solo sangat padat. Sudah menjadi budaya, jika hari wisuda seperti ini pasti macet. Ken menyetir dengan Keenan di bangku penumpang depan. Kiki dan Amira duduk di belakang.

"Kiki deg-degan."

"Nanti Ayah yang ikut masuk, kan?" Tanya Kiki.

"InsyaaAllah." Jawab Keenan.

Setelah tiba di kampus, Kiki langsung masuk ke gedung ditemani Keenan. Amira dan Ken menunggu di luar bersama puluhan orang lainnya.

Sudah jam 10 pagi. Dan Kiki belum juga keluar.

"Bang?" Seseorang menepuk pundak Ken dari belakang.

"Eh, ngapain aja sih, di hotel? Ketiduran lagi, lo?"

Lelaki itu tergelak, "Sorry, tadi nungguin ojolnya lama banget."

"Kiki belum keluar?"

"Belum, jam 11an kayanya."

"Tante Amira, mana?"

"Tuh, di bawah pohon. Ngadem."

"Gimana? Lancar?" Tanya Ken.

"Alhamdulillah. Udah gue siapin semuanya."

Ken tersenyum bangga dan menepuk pundak lelaki itu berkali-kali.

Kiki keluar dari gedung, dia melihat Ken sedang berbincang dengan seorang lelaki. Lelaki yang memunggungi Kiki itu bertubuh jangkung dan sepertinya Kiki pernah melihat postur tubuh itu. Tapi di mana?

Kiki melambaikan tangan kepada Amira yang duduk di bawah pohon, Amirapun bangkit dan berjalan mendekati Ken, begitu juga Kiki dan Keenan.

"Abang!" Panggil Kiki dari keramaian.

Ken melihat Kiki. Adiknya sudah keluar dengan samir berwarna biru seperti almamaternya dan samir bertuliskan cumlaude. Adiknya benar-benar selalu membanggakan.

Ken melewati lelaki di depannya untuk menghampiri Kiki. Dia merentangkan tangannya, Kiki pun masuk ke pelukan Ken.

"Abang bangga."

"Udah siap dapat hadiah dari Abang?"

"Spesial banget, ya?" Tanya Kiki.

"Banget, dong!"

Kiki terkekeh, ia mengangguk.

Ken merangkul pundak Kiki. Mengajaknya untuk kembali ke tempat Ken semula berdiri.

Kiki menatap lelaki jangkung yang masih membelakanginya.

"Ini, teman Abang?" Tanya Kiki.

"Emang Abang punya teman di Solo?"

Mendengar suara Kiki, lelaki itu berbalik.

Kiki terkejut bukan main, rasanya kaki Kiki tidak menginjak tanah, rasanya badan Kiki sangat ringan.

Semesta, ini bohong, kan?

Ini hanya orang yang mirip Fahmi, kan?

Ini bukan Fahmi, kan?

"Congratulation, Keeyara Asyqilla." Lelaki jangkung yang diduga sebagai Fahmi itu memeluk Kiki erat.

Dari pelukannya, ini benar-benar pelukan Fahmi.

Kiki ingat betul bagaimana rasanya.

Kiki melepas pelukan itu kasar.

"Abang, i-ini?" Kiki menatap Ken bingung.

"Ini kado dari Abang, spesial, kan?"

Kiki menggeleng kuat.

Dia melepas high heels-nya. Melemparnya kesegala arah. Kiki berjalan mundur dengan cepat. Dia berlari menjauhi keramaian itu. Kiki benci di sana. Kiki benci.

Fahmi menghilang selama bertahun-tahun, dan dia tiba-tiba di sini? Bagaimana bisa semudah ini?

"Bang?" Fahmi menatap Ken bingung.

Amira dan Keenan juga dibuat bingung. Mereka kira Kiki akan sangat bahagia. Bukankah selama ini memang Fahmi yang dia tunggu?

Tidak ingin membuang waktu, Fahmi mengejar Kiki. Rupanya gadis mungilnya ini masih suka merajuk.

Fahmi tidak hafal dengan kampus Kiki. Dia tidak tahu tempat-tempat yang biasa Kiki datangi. Terlebih keadaan cukup ramai kali ini. Berkali-kali Fahmi bertanya, apakah ada yang melihat Kiki, untungnya Kiki cukup terkenal. Tidak sulit menemukannya.

Kiki duduk di pinggir jalanan kampusnya, di depan pintu keluar dari fakultas MIPA.

Kiki berlari cukup jauh, dia sangat kelelahan.

"Ki?"

Suara yang tidak pernah Kiki dengar semenjak tiga setengah tahun yang lalu, rasanya asing sekali di telinga Kiki.

"Aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu cari-cari aku selama tiga tahun ini. Iya, kan?"

Kiki masih menangis, menenggelamkan wajahnya diantara tumpukan tangan dan lutut.

Fahmi duduk di sebelah Kiki. Banyak kendaraan lalu lalang. Wajar.

"Aneh, ya, ngomong pakai aku-kamu." Ucap Fahmi.

"Tapi lo-gue udah nggak pantes buat orang dewasa kaya kita." Fahmi terkekeh.

"Ah, apa iya kita udah dewasa? Kamu aja masih lari-larian gini kalau ngambek." Fahmi kembali terkekeh.

Kiki masih menangis.

"Maaf, Ki."

KEEYARA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang