Bab 8

1.1K 76 0
                                    

"Dulu, aku sering di sini."

Aston dan Kiki di Malioboro. Duduk di kursi taman yang ada di sana. Hari menunjukan pukul 16.05 WIB. Malioboro cukup ramai sore itu. Banyak pengunjung lokal maupun luar kota yang di sana.

"Kalau di Bandung, kamu suka di mana?"

"Kiki?"

Aston hanya menjitak kepala Kiki pelan.

"Ishh!"

"Hmm, di Bandung, ya?"

"Nggak ada." Kiki menatap lurus ke depan.

"Nggak ada?" Ulang Aston kurang yakin.

Kiki mengganguk.

"Satupun?"

"Tempat Mang Pena, sama bakso dekat sekolah."

"Yang tempat apa kek, wisata kek, apa gitu lho Keey." Aston pikir Kiki salah paham.

Kiki menggeleng. Kiki tidak menyukai satu tempat pun di kota penuh kenangan itu kecuali tempat Mang Pena, sekolah menengah atasnya, dan warung bakso pinggir jalan dekat sekolahnya.

Bandung, kota Dilan dan Milea itu, kota yang seharusnya menjadi kota Fahmi dan Kiki, sepertinya semesta belum bisa mengabulkannya. Semesta masih ingin Fahmi dan Kiki berada di kota yang berbeda. Mungkin saat ini Bandung belum ingin dijadikan tempat bernaung oleh sepasang sejoli itu.

"Aston, Kiki lapar." Kiki mengalihkan pembicaraan.

Aston terkekeh, "Ayo, makan gudeg langgananku waktu SMA dulu."

Aston mengajak Kiki untuk menikmati gudeg Mbah Sumi yang ada di pinggir jalan, dengan tenda warna biru.

"Mau minum apa?"

"Es teh aja."

Satu gelas es teh, mungkin itu lebih baik. Setidaknya dengan minum minuman kesukaan Fahmi bisa sedikit mengobati rindunya.

"Mbah, gudegnya dua, es teh satu, kopi hitamnya satu."

"Nggak cocok banget, gudeg sama kopi hitam." Celethuk Kiki.

Aston menatap Kiki.

"Kamu cuma nggak tahu aja. Kopi cocok sama apapun, Keey. Karena kopi punya kenikmatan sendiri buat penikmatnya."

"Kenapa suka kopi? Kan pahit."

"Harusnya suka sama apa?"

"Ya.. apa kek. Yang nggak pahit."

"Aku suka kopi yang pahit, karena manisnya udah di kamu."

Pipi Kiki otomatis memerah.

Aston tergelak.

"Gampang ya bikin kamu salah tingkah."

"Rese!"

Kiki memang masih seperti itu. Salah tingkah dan wajahnya memerah ketika dipuji atau digoda. Hanya sata Kiki tidak menutup wajahnya dengan telapak tangan lagi. Dia sudah bisa mengendalikan dirinya, tapi tidak dengan pipi tirusnya yang suka memerah tiba-tiba.

KEEYARA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang