Bab 25

1.4K 93 7
                                    

Kiki merasa ada yang hilang. Bandung sekarang bukan Bandung yang dulu. Kenapa Kiki bisa kesepian di kotanya sendiri? Kenapa Kiki bisa merasa sendirian di kota di mana dia lahir dan kota tempat dia ingin dimatikan.

"Nggak bisa kaya gini terus nih." Kiki bergumam sendiri.

Kiki memutuskan untuk keluar rumah, berjalan menyeberangi jalan depan rumahnya. Jalan yang seharusnya tidak menciptakan jarak yang berarti.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam. Kiki?!" Niken terkejut ketika melihat Kiki di rumahnya.

"Ayo masuk sayang. Fahmi ada di kamar."

"Ki-Kiki nggak cari Fah-Fahmi." Kiki terbata.

Niken justru terkikik geli melihatnya.

"Abahmu nggak ada di rumah. Lagi pula seleramu tidak berpindah ke om-om, kan?" Niken terbahak sekarang.

Kiki tersenyum canggung, kemudian ke kamar Fahmi. Masih sama. Masih terdapat lambang Arsenal yang begitu besar di pintu itu. Kikipun masih sama, mengetuk pintu sebelum memasukinya. Yang berbeda hanya Kiki tidak tahu apakah Fahmi masih marah seperti dulu ketika Kiki masuk tanpa ijin.

"Masuk." Suara bariton itu terdengar jelas.

Kiki memutar gagang pintu, dan masuk ke dalam. Kiki sempat tercengang ketika melihat semua barang yang di sana masih verada di tempatnya. Niken benar-benar menjaga dan merawat kamar Fahmi dengan baik. Semua barang masih lengkap dan tersimpan rapi di tempatnya. Foto, pernak-pernik berbau Arsenal, dan barang-barang lain masih berada di tempat yang sama dengan yang Kiki lihat beberapa tahun lalu.

"Ki?" Panggil Fahmi tenang. Seperti kehadiran Kiki bukan sesuatu yang aneh.

Kiki terdiam di ambang pintu. Rasanya kakinya berat sekali melangkah.

"Mau berdiri terus?" Tanya Fahmi dengan menaikkan sebelah alisnya.

"E-eh?"

"Sini." Fahmi membenarkan posisi duduknya, dan menepuk kasur di sampingnya.

Saat Kiki membuka pintu. Dia melihat Fahmi yang bersandar di tembok dengan buku di tangannya. Sejak kapan lelakinya suka membaca buku?

Kiki duduk di samping Fahmi. Kurang lebih lima belas menit mereka terdiam. Sampai akhirnya Fahmi membuka pembicaraan.

"Dari rumah?"

"Hm." Kiki mendeham.

"Sejak kapan suka baca?" Tanya Kiki.

Fahmi justru terkekeh, "Sejak di Belanda. Mau nggak mau sih awalnya."

"Baca buku apa?" Kiki membungkukkan badannya untuk melihat sampul buku yang berada di tangan Fahmi.

"MADILOG." Fahmi menutup bukunya agar Kiki lebih mudah melihat sampulnya.

"Mau baca?" Fahmi menyodorkan bukunya.

Kiki tersenyum, "Boleh, nanti."

"Pinjem ya?"

"Buat kamu aja." Fahmi memberikannya kepada Kiki.

"Kok buat Kiki? Kan Fahmi belum selesai baca. Selesaiin aja dulu, nanti Kiki pinjem."

"Kamu aja yang ceritain isinya nanti."

"Jadi, ada apa?" Fahmi menatap Kiki serius.

Kiki tertegun melihat tatapan mata itu. Memangnya Kiki harus ada apa-apa dulu baru boleh ke sini? Dulu Kiki bebas keluar masuk rumah bahkan kamar Fahmi tanpa harus ada keperluan.

KEEYARA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang