Bab 6

1.2K 90 1
                                    

"Tap-Tapi kenapa?"

"Kenapa harus Belanda?" Tanya Kiki dengan mata yang berkaca-kaca.

Fahmi menatap Kiki tenang.

"Kiki nggak mau sendiri. Kiki pengennya Fahmi di sini, aja!"

"Ki, jangan egois."

Kiki membelalak.

"Fahmi yang egois!"

"Ini semua juga buat lo."

"Ini buat Fahmi. Buat ambisi Fahmi."

"Ini bukan ambisi, Ki. Ini cita-cita. Semua orang punya cita-cita. Dan cita-cita gue banyak. Cita-cita terbesar gue adalah hidup sama lo. Dan buat hidup sama lo itu nggak gampang. Gue harus siapin banyak hal, termasuk mencapai cita-cita kecil gue yang lain."

"Ta-Tapi.."

"Gue bakal pulang, Ki. Gue nggak bakal benar-benar ninggalin lo."

Kiki menggeleng kuat dengan derai tangis yang cukup deras.

Fahmi dan Kiki berada di warung bakso biasa, di dekat sekolah mereka.

Ah, bukan tempat yang romantis untuk membahas perpisahan. Tapi tunggu, perpisahan memang bukan hal yang romantis, kan?

"Ki, jangan nangis."

"Ya Fahmi bikin Kiki nangis."

"Lo harus banyak belajar di sini, kalau setiap kebahagiaan tercetak melalui tangisan."

"Kiki maunya langsung bahagia aja." Kiki sesenggukan.

"Nggak ada yang instan, Ki. Masak mie instan aja harus direbus dulu, kan?"

"Fahmi nggak mau bahagiain Kiki, ya?"

"Nggak. Gue nggak mau, tapi gue siap."

"Jawab yang benar! Jangan bikin Kiki bingung!"

Fahmi justru terkekeh.

"Gue nggak mau bahagiain lo, Keeyara. Tapi gue siap. Gue siap bahagiain lo, bahkan waktu lo sendiri nggak siap buat bahagia."

"Gue cuma pergi sebentar, gue pasti pulang karena rumah gue, di sini, di samping lo."

Kiki masih menangis.

"Nggak percaya?"

Kiki menggeleng.

"Gue pernah bohong?"

Kiki kembali menggeleng, lebih kuat.

"Udah bukan saatnya ragu sama keadaan setelah apa yang kita lewati sama-sama, Ki. Gue tetep Muhammad Fahmi yang bakal terus sayang sama lo."

"Gue nggak pernah benar-benar pergi, Ki. Gue bakal kirim email setiap hari. Jarak nggak semenakutkan itu. Gue janji."

"Ta-tapi Kiki nggak mau.."

"Ki, percaya sama gue." Fahmi menangkupkan tangan kekarnya ke wajah kecil Kiki.

"Percaya, kan?"

"Maunya percaya, tapi-"

"Nggak ada tapi, Ki. Lo harus percaya. Gue nggak bisa pergi tanpa bawa kepercayaan lo, karena dengan kepercayaan lo juga gue bakal pulang."

Kiki tetap menangis.

"Jangan nangis, dong. Nanti gue dikira apa-apain lo, lagi."

Kiki masih tetap menangis.

****

Kiki tersentak kaget.

Lagi lagi mimpi itu datang. Kenyataan yang selalu menjadi mimpi, lebih tepatnya. Heran kan? Kenapa kenyataan menjadi mimpi, padahal umumnya mimpi yang menjadi kenyataan. Entahlah, bertanya saja kepada Kiki, dia yang mengalaminya.

Buliran bening kembali menetes dari mata indah Kiki.

"Selama gue nggak ada, jangan pernah nangis. Gue nggak bisa jaga lo sementara ini, jadi gue mohon, jaga diri lo, Ki. Jaga mata lo yang selalu lo pakai buat lihat gue, jangan sampai menangis."

Lagi-lagi ucapan Fahmi terngiang.

Ah, ayolah. Sehari saja tidak mengganggu, bisa?

Kiki mengusap matanya dengan kasar. Sudah bukan saatnya menangis seperti ini. Seharusnya Kiki sudah terbiasa, bukan? Jangan jadi wanita lemah, Ki. Usiamu sudah 20tahun, bukan anak SMA kelas XI yang masih berusia belasan tahun.

KEEYARA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang