Sean memastikan alamat rumah yang ada di emailnya dengan nomor yang ada di sebelah pagar rumah. Sama, baru ia menghampiri pos satpam, untuk menanyakan sang pemilik rumah yang mengundangnya.
Satu kali Sean mengetuk jendela kaca kecil seukuran keramik rumah neneknya. Di dalam sana, sang satpam rumah terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Suara musik dangdut mengisi ruangan kecil berukuran 2*3 meter itu. Dua kali Sean mengetuk baru satpam itu menoleh dan buru-buru menuju gerbang lebih kecil yang hanya bisa dilewati satu orang.
"Mas mau nyari siapa ya?" tanyanya ramah. "Saya Parto, satpam rumah ini."
"Sena ada di rumah?" Pertanyaan Sean mengundang rasa penasaran satpam itu. Pasalnya, hanya Leon, cowok yang pernah ke rumahnya karena memang Leon adalah pacar Sena yang semua orang rumah tau.
Pak Parto menggaruk kepalanya seolah ada kutu di sana. "Mas siapanya Non Sena?"
Sean berdeham, "temannya Sena." Anggaplah begitu, entah Sena menganggap Sean teman atau tidak itu urusan belakang.
"Saya kira siapa." Satpam itu terkekeh. "Mas bisa masuk nanti tunggu di ruang tamu. Saya akan telepon Non Sena."
Sean mengangguk dan berterima kasih. Rumah Sena memang tidak sebesar rumahnya yang dulu, tapi rasanya cukup nyaman juga, hampir mirip seperti rumah neneknya yang rindang. Rumput hijau terawat dan bunga mawar di taman kecil mekar dengan indah.
Cukup melihat halaman depan rumah Sena, Sean melangkahkan kaki masuk. Ia memencet bel dan langsung terbuka secara otomatis pintu rumahnya. Sesuai kata Pak Parto, Sean menunggu di ruang tamu. Rumah ini dicat serba putih dengan banyak foto Sena dan keluarganya. Mulai dari Sena kecil yang masih ompong dan memakai topi ungu sambil tersenyum hingga foto saat Sena di depan sebuah patung singa milik negara tetangga, Singapura. Sepertinya Sena memang satu-satunya anak dari keluarga ini. Tanpa sadar Sean menarik sudut bibirnya ke atas. Sena lebih beruntung dari Sean walau mereka sama-sama anak tunggal. Sean tidak merasakan kasih sayang mamanya karena mamanya meninggal saat melahirkannya. Ia hanya punya papa dan nenek yang menyanyanginya, namun sekarang papanya berubah. Kadang rasa iri itu ada saat orang lain bisa bersama orang tuanya, Sean hanya bersama neneknya.
"Belajarnya di atas. Ayo ikut gue." Entah sejak kapan Sena berada di undakan tangga paling bawah, ia mengenakan setelan yang lebih santai dari yang pernah Sean lihat selama ini. Sena memakai celana jins selutut dan kaos putih bertuliskan Fashion. Dengan penampilan seperti itu, Sena terlihat lebih lucu dan manis. Ah, apakah itu pikiran Sean yang mengatakannya?
"Kenapa nggak di sini aja?"
Sena memutar bola mata malas, ia sedang tidak ingin berdebat dengan Sean. "Ikut aja kenapa sih. Senyaman gue seharusnya."
Kali ini Sean mencoba bersabar, lagipula kalau tidak dituruti, waktunya akan tersita lebih lama.
Mereka berjalan menaiki tangga dengan Sena yang memimpin di depan. Tiba di lantai dua, Sena menuju balkon belakang rumahnya diikuti Sean. Cewek itu terus naik ke atas hingga sampai di rooftop yang tidak disangka oleh Sean ada di rumah ini.
Ada 3 kursi dengan meja bundar sedang di pojok dekat pembatas besi yang ditata elegan. Ada ayunan dengan atap yang menaungi dari matahari di kala terik. Di bagian kanan, ada pot bunga yang diletakkan berjejer rapi ke atas. Sangat cocok untuk spot foto.
Sena duduk di salah satu kursi membuat Sean mengikutinya. Sena membuka buku yang ia bawa dan hal itu cukup tidak biasa di mata Sean. Pasalnya, selama les, Sena tidak pernah membuka atau membawa bukunya dan semua materi dari Sean. Sekarang cukup ada perubahan yang pasti itu lebih baik.
"Gue nggak bisa materi ini." Sena menunjuk judul bab dari buku itu. "Ngapain susah-susah belajar bakteri sih, gue nggak ngerti lagi harus gimana sama pelajaran ini."
Tanpa bicara, Sean menarik buku yang dimaksud Sena. Ia membaca sekilas dan mengembalikan buku itu. Sena memperhatikan Sean yang tak menampilkan ekspresi apapun. Sebenarnya, Sena berusaha menahan rasa khawatirnya jika Sean akan mengungkit masalah kemarin.
Dengan tenang, Sean mengeluarkan laptopnya dan mencari gambar seperti di buku itu. Sean membaliknya ke arah Sena membuat cewek itu mengernyit.
"Lo mau gue ngeliatin makhluk kecil tak kasat mata itu?"
Sean menghela napasnya. Jika saja ia tidak butuh uang itu untuk tambahan biaya obat neneknya, Sean pasti tidak mau menerima tawaran Sena.
"Mau gue jelasin sejelas apapun, lo tetap nggak ngerti. Lebih baik lo belajar lewat gambar dan video yang lebih mudah untuk lo pahami."
Benar juga kata Sean, Sena lebih mudah belajar dengan video dan gambar. Ia mulai mendengarkan Sean sambil melihat gambar itu dengan teliti. Ia akan serius belajar, UAS semakin dekat. Jika tidak belajar dari sekarang, Sena akan kuwalahan. Apalagi ia harus meyakinkan kedua orang tuanya.
Menit berlalu dengan cepat hingga tidak terasa langit mulai menggelap. Matahari mulai masuk ke peraduannya. Sena menguap dan merentangkan tangannya untuk mengilangkan pegal. Ia memandang sejenak matahari di barat sana. Terdengar embusan napas dari Sena yang terlihat gusar.
"Sebagian orang menyukai senja dan sebagian membencinya."
Sean melirik Sena yang tampaknya tidak sadar telah menyuarakan pikirannya. Sebenarnya jika dilihat dari jarak sedekat ini, Sena tidak begitu jutek. Wajahnya malah terkesan imut dan damai. Sena adalah salah satu manusia yang berhasil menyita perhatian Sean, selain neneknya tentunya.
"Gue udahan dulu belajarnya." Sena beranjak, tidak memedulikan Sean yang masih berada di tempatnya. Tidak lama gadis itu berbalik dan menunjuk tangga dengan dagunya. "Lo mau di sini sampai kapan? turun sana. Gue mau tutup balkonnya."
Diamnya Sean membuat Sena jadi canggung. Bahkan rasa ini belum ada sebelumnya. Sena bisa berbicara apa saja dan kapan saja ia mau. Tapi sekarang, ia malah bingung mau mengatakan apa lagi. Demi menghindari Sean, Sena langsung turun.
Ternyata di ruang makan sudah ada orang tua Sena. Mamanya menata makanan dan papanya menggulung koran yang kelihatannya habis dibaca. Mau tidak mau langkah Sean berhenti karena Sena juga menghentikan jalannya di undakan tangga terakhir. Ia menoleh pada Sean. "Lo pulang kan?"
Sean baru ingin menjawab tapi sebuah suara lebih dulu mendahuluinya.
"Loh ada temannya Sena? Kok tumben kamu bawa teman cowok ke sini?" Pertanyaan itu dari mamanya. Beliau tidak khawatir saat Sena mengajak temannya ke lantai atas karena itu bukan ke kamar Sena, melainkan ke rooftop tempat Sena main bersama temannya yang ke rumah. Tapi yang membuat mamanya bertanya adalah karena cowok yang diajak Sena bukanlah Leon, melainkan orang lain yang tidak dikenal orang tuanya.
Mau tidak mau Sena harus menjelaskan siapa sebenarnya Sean dan apa tujuannya di sini. Sena tanpa sadar menarik tangan Sean menuju meja makan karena tidak sopan bicara berjauhan seperti itu. "Dia Sean, teman Sena. Sena bawa Sean ke sini untuk mengajari materi yang Sena nggak ngerti. Mama sama Papa kan bilang kalau Sena harus mendapatkan nilai bagus di semester ini. Jadi, Sena memilih Sean untuk jadi guru privat."
Mulut kedua orang tuanya kontan membulat seakan mengerti penjelasan anaknya. Baru saja Sena akan menyuruh Sean pulang, lagi-lagi digagalkan papanya yang malah tersenyum lebar.
"Makan di sini ya. Om senang soalnya Sena bisa nurut belajar sama kamu. Susah soalnya ngajarin dia, maunya main musik terus."
Yah, jatuhlah harga diri Sena. Ia lupa kalau kedua orang tuanya sama blak-blakan seperti dirinya. Nasib buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Poor Sena dan berjayalah Sean yang diam-diam tersenyum.
An:
Selesai juga ngetiknya, seneng aku. Padahal waktu liburan banyak tapi malah kemalasan menulis meningkat pesat.
Karena sudah di publish, yuk taburi bintang dan komen kalian.
See you next part.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEANA (COMPLETED)
Teen FictionSena dan Sean adalah dua kutub berbeda. Yang satu arogan yang satu terlalu freake. Bisakah kedua magnet itu disatukan meski keduanya tak punya sifat yang sama? Cover by @prlstuvwxyz #788 highschool (dari 19,9 cerita)