Sedih adalah ketika Sena sudah berusaha belajar sangat keras untuk ujian tapi soal ujian tidak sesuai ekspektasi. Ya walau ada beberapa yang memang bisa dikerjakan, tapi tetap saja soal ujian yang telah ia kerjakan dengan setengah hati menurut Sena tidak manusiawi, alias tidak bisa diterima logika Sena.
Mungkin waktu yang berkisar satu bulan untuk les privat belum cukup. Seharusnya Sena meminta Sean dua bulan sebelumnya. Tapi tentunya mereka belum kenal. Justru melalui les privat mereka saling mengenal lebih dekat.
Bu Ida tak hentinya berkeliling. Beliau selalu menengok ke arah Sena. Takut kalau kejadian menyontek terulang lagi. Padahal Sena juga tidak ada keinginan menyontek. Memang ya manusia suka melihat satu kesalahan dan membesar-besarkan daripada melihat banyak kebaikan.
Tiga puluh soal dari empat puluh sudah Sena kerjakan. Ia percaya semuanya benar. Tersisa sepuluh soal dan Sena benar-benar tidak tau apa jawabannya. Tapi Sena tak ingin menyerah, ia terus berusaha. Berpikir sangat keras sampai memainkan bolpoin di tangannya. Lima menit, sepuluh menit, belum dapat jawaban. Bingung harus melakukan apa, akhirnya Sena memutuskan untuk mencoret lembar untuk menghitung.
Sena mulai merangkai chord di saat teman-temannya mengerjakan soal ujian. Baginya ada yang lebih menyenangkan dari menyanyi, yaitu menciptakan lagu. Sampai saat ini terhitung ada beberapa lagu yang sudah Sena buat, akan tetapi tidak pernah ia nyanyikan ke publik. Namun ada yang berbeda dengan lagu yang sedang ia racik saat ini, lagu ini akan menjadi lagu pertama karya orisinil Sena yang akan tampil di publik. Sena akan menyanyikannya untuk Sean, seseorang yang berharga dan baru Sena rasakan keberadaannya akhir-akhir ini.
Dulu bagi Sena, Sean adalah angin yang ada tapi tak terlihat. Dibutuhkan tapi tidak dianggap penting kecuali saat ia benar-benar pergi. Sean adalah etanol, tidak mencolok, tapi memberi warna baru bagi kehidupan Sena. Molekul dasar yang dibutuhkan Sena untuk melengkapi kekurangannya. Jika boleh disebut, Sean sekarang menjadi salah satu orang yang Sena prioritaskan.
Khayalan Sena mungkin semakin jauh kalau Bu Ida tidak mengetukkan penggaris ke meja Sena sebagai tanda bahwa gadis SMA itu pikirannya melayang ke mana-mana. Saat Sena sadar, ia hanya punya waktu lima menit sebelum ujian berakhir, beberapa temannya sudah berdiri, tipe anak rajin yang pasti semua buku dibaca sehingga bisa mengerjakan semuanya. Hal yang dilakukan Sena selanjutnya mungkin diluar nalar tetapi sangat menentukan kertas ujiannya terisi penuh atau tidak. Ia menggambar mata dadu di penghapus putih miliknya. Semata-mata untuk menguji keberuntungan berpihak padanya hari ini.
Sena harus mengejar Bu Ida untuk mengumpulkan jawabannya. Ia adalah orang terakhir yang mengumpulkan lembar jawaban. Meski begitu, Sena menaruh harapan besar pada lembar yang telah ia perjuangkan.
Rasa lega menghampiri Sena. Selesai sudah ujian pertama hari ini. Tak lama kemudian Elena menghampiri.
"Sen lo nggak ke studio?"
"Studio?"
"Iya, tapi yang di luar sekolah biar lebih bebas."
"Tumben nawarin, biasanya juga ngelarang."
"Mumpung besok pelajarannya nggak berat, jadi bisalah sampai sore di sana. Habis itu baru belajar."
Sena melupakan satu hal, selain musik, nilainya di pelajaran Bahasa juga bagus tanpa perlu belajar. Sepertinya masuk jurusan IPA merupakan jalur yang salah untuk kemampuan seni Sena. Tapi dengan menjadikan kesalahan sebagai tantangan, seseorang bisa merubah dirinya menjadi lebih baik lagi.
"Oke deh, sekalian mau nyobain lagu baru."
"Untuk seseorang yang spesial. Jadi iri gue sama Sean."
"Ga pantes gue bikin lagu tentang persahabatan kita, terlalu berharga."
"Sweet banget sih Sen."
Elena tertawa nyaring sedangkan Sena mengindik geli. Sudah sepatutnya mereka begini tanpa jarak seperti kemarin. Sena benar-benar bersemangat untuk segera menuntaskan lagu buatannya. Kemungkinan besar, lagu ini juga yang akan ia ikutkan lomba. Sekalian saja diramu sebagus mungkin supaya tidak kerja dua kali. Ibarat peribahasa, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
*****
Hari kedua, sampai dua hari sebelum ujian selesai, Sena telah berhasil merangkai chord yang paling pas untuk mengiringi lagunya. Tinggal diuji coba beberapa kali lagi maka semuanya sempurna. Ia perlu ke guru seni untuk menunjukkan hasil kerja kerasnya. Sena sengaja tidak melibatkan siapapun dalam pembuatan lagu perdana yang akan ia tampilkan. Mungkin ia cuma butuh komentar untuk membuatnya semakin lengkap.
Dengan ditemani segelas jus apel dan strawberry, Sena senang hati menggarap lagu. Gitar kesayangannya menjadi pelengkap suasana sore itu di teras rumah. Biasanya Sena tidak suka bersantai di depan rumah karena kurang cocok, tapi sekarang ia lebih suka di teras daripada di kamar saat membuat lagu. Apa cinta bisa merubah seseorang sedrastis itu?
Sambil memetik perlahan senar gitar, Sena mencoret nada yang sekiranya masih sumbang. Terus berulang sampai satu jam kemudian. Rasa bangga menguar saat ia benar-benar siap dengan lagu itu. Sena belum menemukan judul yang sekiranya bisa mewakili lagu itu. Tapi tanpa aba-aba sebuah kata lewat di ingatannya.
Buru-buru Sena mencatat judul yang datang tanpa ia perkirakan. Ia memutuskan untuk menyudahi latihan. Selepas jus di gelas habis, ponsel Sena berdering. Ada telepon masuk dari Sean.
Dulu Sena akan mematikan telepon itu, tapi sekarang ia mengangkatnya dengan waktu kurang dari 2 detik. Butuh beberapa detik lagi sampai keduanya memutuskan untuk mulai bicara. Dimulai dari Sean.
"Sore Sen." Sapaan Sean terdengar kaku dari seberang sana. Menjelaskan kalau ia tidak pernah menelepon Sena dengan nada selembut ini sebelumnya.
"Ada apa, tumben nelepon?" Sena justru berusaha menyembunyikan suara ceria nya.
"Nggak ada apa-apa."
"Terus kenapa telepon kalau nggak ada apa-apa?"
"Cuma pengen telepon aja. Nggak boleh ya?"
"Bilang kangen apa susahnya sih? Gue udah biasa ya dikangenin banyak orang."
Dari seberang terdegar Sean tertawa kecil.
"Heh apa maksudnya ketawa kayak gitu? Gue jujur ini."
"Iya Sen, kangen."
Sekarang seperti ada kembang api tahun baru di perut Sena. Terasa meledak-ledak, menyenangkan sekaligus membuat mulas.
"Enaknya gue bales apa nih?"
"Terserah, gue nggak maksa. Yang tadi juga jujur dari gue sendiri tanpa paksaan."
Ucapan Sean barusan terdengar asing sekaligus manis di telinga Sena. Jarang tapi menyenangkan. Sore itu semakin manis saja karena obrolan ringan dengan Sean. Inilah yang Sena butuhkan, bukan seseorang seperti Leon yang berkata manis sepanjang waktu, tapi sosok seperti Sean yang jutek, aneh, tapi bisa juga berkata manis di waktu yang tepat.
Sena semakin yakin dengan ungkapan terima kasih yang akan ia tujuan untuk Sean. Ucapan perdana dari seorang Sena Anggara yang pantang mengucapkan maaf dan terima kasih. Sena mengemasnya menjadi sesuatu yang istimewa. Membuktikan bahwa dirinya juga manusia biasa, bisa mengalah dan kalah. Bisa lemah dan kuat. Hanya tidak semua sisi harus ia tunjukkan. Tapi kali ini, ia akan mengungkap satu sisi baru. Sisi yang dulunya berada di paling bawah. Sekarang Sena akan mengangkat ke permukaan sisi itu.
An:
Gemas sekali rasanya bisa nulis lagi di SEANA. Kalian menunggu cerita ini tamat? Jujur aku sedang dalam masa di mana menulis adalah hal yang berat padahal dulu ini rumahku. Aku merasa lengkap kalau menulis, sampai sekarang masih, tapi rasanya aku mulai kehilangan arti. Aku mau serius lagi untuk nulis, menghasilkan karya-karya yang setidaknya bisa membuat hati kalian dangdut.
Karena aku udah nulis lagi, kalian wajib banget buat vote dan komen, wajib gamau tau wkwk. See you di 2 part terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEANA (COMPLETED)
Novela JuvenilSena dan Sean adalah dua kutub berbeda. Yang satu arogan yang satu terlalu freake. Bisakah kedua magnet itu disatukan meski keduanya tak punya sifat yang sama? Cover by @prlstuvwxyz #788 highschool (dari 19,9 cerita)