Kembali Jutek

501 33 6
                                    

Sena berjalan beriringan bersama Leon di koridor. Sesekali mereka tertawa. Kadang Sena sampai memegangi perutnya karena keram.

Banyak yang memandang mereka iri. Sena, si jutek dan arogan berdampingan dengan sosok Leon yang most wanted karena ia menjadi ketua tim basket. Mereka seperti paket komplit. Serasi dan membuat iri.

Namun tawa Sena berhenti saat ia berpapasan dengan Sean di depan kelas XI IPA 1. Kelas Sena berada tepat di sampingnya. Otomatis ia akan melewati kelas Sean terlebih dahulu.

Tak ada sapaan, tak ada senyum kecil di wajah Sena. Ia kembali seperti Sena seperti sebelumnya. Bukan Sena saat les privat dengan Sean.

Ia bahkan melemparkan tatapan terganggu karena kehadiran Sean. Begitu juga dengan Leon, cowok itu sengaja berhenti tepat di samping Sean.

"Hn, Babe. Kapan kita jalan lagi hm?" tanya Leon sambil merangkul pundak Sena.

"Nanti gimana? Nonton film di bioskop ya. Yang terbaru filmnya oke?"

Sepertinya Sena memang hanya baik kepada Leon dan temannya yang Sean tidak tau namanya. Sena terlalu menganggap remeh semuanya. Dia menyamaratakan semua orang di sekolah ini kecuali Leon.

"Sena! Lo dicariin Bu Beta!" Dari ambang pintu, Elena berteriak membuat ketiga orang yang sedang berperang dingin itu menoleh ke arahnya.

"Gue? Kenapa dicariin?" Sena menunjuk dirinya sendiri.

Elena mengangkat bahunya. Dia memang tidak tau mengapa Sena dipanggil guru galak itu. Yah, selain Pak Hafran yang masih mau mengurusinya, Bu Beta adalah guru kedua yang senang mencampuri urusannya. Bukan apa-apa, tapi setiap tingkah Sena selalu salah di hadapannya.

"Kalau gitu gue balik kelas ya Sen," pamit Leon. Ia mengacak kecil rambut Sena yang tergerai.

"Ayo anter gue El." Sena melemparkan tasnya ke meja dekat pintu secara asal.

Elena hanya menuruti Sena dan berjalan di belakangnya. Sebelumnya dia sempat melirik Sean yang masih diam dengan wajah dingin yang mengikuti langkah Sena.

Elena heran, sebenarnya ada hubungan apa Sean dengan Sena?

*****

Entah ini sudah kali keberapa Sena memasuki ruang perpustakaan karena dihukum. Jika Elena adalah seorang Bibliophile, maka Sena kebalikannya. Ia tidak suka membaca apalagi mengoleksi buku. Bahkan bukunya kelas X entah kemana perginya.

Perpustakaan memang tidak selalu sepi seperti kebanyakan mitos. Di sini perpustakaan tetap ada pengunjung. Beberapa dari pengunjung itu kini menatap Sena jengah. Mereka yang sering ke ruang ini juga pasti tau Sena berada di sini untuk melaksanakan hukuman.

"Apa liat-liat? Mau gantiin gue?" tanya Sena sarkastik.

Tidak ada yang menyahut. Selain terkenal dengan sifat arogan, Sena ditakuti karena orangtuanya penyumbang terbesar di sekolah swasta ini.

"Kenapa juga sih Bu Beta suka hukum gue? Padahal paket geografi udah gue kembaliin. Huft, emang ya gue punya daya tarik apa sih sampai guru galak begitu tertarik ngurusin gue? Orangtua gue aja gak masalah sama apa yang gue lakuin." Tidak hentinya Sena menggerutu. Setiap satu buku ia ambil untuk dibersihkan, saat itu dia mengoceh sendiri. Saat mengambil salah satu buku, Sena kesusahan. Seperti ada yang menariknya juga dari lorong seberang.

Tetap tidak mau mengalah, Sena terus menarik buku itu. Hingga akhirnya seseorang yang menarik buku itu melepaskannya membuat Sena mundur beberapa langkah.

"Lo!" Telunjuk Sena mengarah ke depan kacamata Sean.

"Kenapa sih lo selalu ada di mana-mana? Gue mau ke kelas ada lo. Di perpustakaan ada lo. Gak bisa ya lo sembunyi biar gak ketemu gue!"

Sean menyingkirkan telunjuk Sena. Tangan kanannya terjulur mengambil buku kesehatan yang dibawa Sena.

"Gue ke sini untuk baca," jawab Sean datar. Raut wajahnya membuat Sena kesal.

"Ya tapi dari sekian banyaknya buku kenapa lo pilih buku itu sih!"

"Terserah gue kan?"

Sena melemparkan kemoceng ke depan Sean. Ia berlalu dari sana. Sena butuh ketenangan dengan tidak bertemu Sean.

Sean sendiri tidak mengerti kenapa dari sekian banyaknya cewek di sekolahnya, Sena yang paling sering bertengkar dengannya. Bibirnya tertarik membentuk garis melengkung yang sangat tipis.

*****

Sabtu malam tiba. Artinya Sean kembali menjadi kasir di loket bioskop. Sekarang Sean tidak akan menerima uang papanya lagi. Cukup sudah sakit hati yang diberikan. Ia lebih senang bersusah payah mencari uang sendiri daripada menerima uang dari papanya yang lebih memilih ibu tirinya.

"Udahlah, lo jangan meratapi nasib terus. Keadaan nggak akan berubah kan? Sama seperti saat gue coba sepatu baru yang kekecilan, sekeras apapun usaha gue, sepatu itu nggak akan pernah pas di kaki gue. Lo tau Sean? Hal paling indah di dunia ini adalah ketika kita masih bisa bersama dengan keluarga kita. Setidaknya lo masih punya Papa." Ara menyenggol lengan Sean. Ya, Sean melamun. Ara memang benar, Sean masih beruntung. Namun sekarang keadaan jauh lebih buruk. Sean tidak dianggap dan diasingkan papanya sendiri. Menyedihkan.

"Lo gak pulang? Bukannya tiap sabtu sore lo ada urusan lain?" tanya Sean mengalihkan topik. Sebenarnya ia sudah menganggap Ara sepupunya sendiri. Dengan Ara, Sean bisa menceritakan masalahnya. Mereka sama, sama-sama ditinggalkan keduaorangtua. Bedanya, Ara tidak akan pernah bisa menemui orangtuanya karena mereka sudah meninggal sejak Ara berumur 10 tahun.

"Gue rasa tiap sabtu sore gue akan tetap kerja." Ara menatap sendu ke arah depan. "Sebenarnya setiap Sabtu sore, gue pulang ke Bogor. Supaya gue bisa lihat makam orangtua gue. Dengan begitu gue tetap bisa masuk kerja di hari Senin. Setidaknya itu yang bisa gue lakuin untuk menjadi anak yang baik. Gue juga bisa semangat kerja di hari Senin." Entah topeng apa yang dipakai Ara untuk menutupi kesedihannya. Yang jelas ia begitu handal.

Sama halnya dengan Sean. Sifat dingin dan anehnya semata-mata untuk mengikis kesedihan yang ia rasakan.

"Kerja tuh yang bener!" Sampai terdengarlah suara itu, Sean yakin Sabtu malamnya akan mengesalkan.












An:

Gimana nih sama part ini?

Ditunggu vote dan komen kamu ya. Kelanjutan cerita tergantung vote dan komen😁

SEANA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang