Les Privat-1

547 46 9
                                    

Suara ketukan pensil dan meja yang beradu, konstan memenuhi ruang itu sejak tadi. Hal yang sama seperti beberapa menit yang lalu. Sena menghela napasnya dan menekuk kepalanya, menyembunyikan di dalam lipatan tangannya.

Ini soal pertama yang ia kerjakan tapi tidak juga menemukan jawaban. Biologi, pelajaran yang menurut Sena membosankan dan berbelit. Hanya untuk menentukan hasil reaksi gelap dalam fotosintesis, dia harus mengotak-atik rumus kimia. Dua pelajaran itu jika dipadukan akan membuat otak Sena meledak.

Sudah tidak diragukan lagi kalau Sena memang payah dalam akademiknya. Dia hanya suka pelajaran seni musik. Hanya itu selama 2 tahun ia sekolah di SMA.

Hanya dalam pelajaran seni musik ia merasa bebas, tidak terkekang dan menuntaskan hobinya.

Sebenarnya orangtuanya tidak pernah melarang Sena, tapi karena nilainya anjlok, terpaksa mereka melakukan itu. Menyuruh Sena berhenti atau menaikkan nilainya.

Tentu saja Sena jatuh pada pilihan kedua. Dan di sinilah dia sekarang. Berada di ruang tamu rumah nenek Sean yang tidak terlalu besar tapi nyaman ditempati. Beralaskan karpet beludru coklat, Sena meluruskan kakinya karena pegal terus ditekuk.

Daritadi Sena tidak melihat kehadiran nenek Sean. Gadis itu sebenarnya penasaran, namun dia hanya belajar di sini, tidak lebih.

Entah kemana perginya Sean, cowok itu tadi memberikan sedikit penjelasan dan langsung memberikan soal ini kepada Sena. Sean bilang ia ada urusan sebentar.

Karena bosan, Sena memutuskan berdiri. Tidak ada salahnya jika mengenal rumah ini lebih dekat. Lagipula Sena akan belajar sampai UAS nanti di sini. Sena tau batasan, dia hanya berkeliling di luar, bukan di dalam rumah. Ia tau jika tidak ada orang yang mau rumahnya dijajaki sembarang orang.

Kakinya melangkah besar-besar saat menuruni 2 anak tangga sekaligus. Sena langsung disuguhi pemandangan halaman luas dengan tanah tertutup rumput hias yang rapi. Pemandangan ini juga menyambutnya saat pertama kali menginjakkan kaki di sini.

Sena berputar ke bagian samping rumah. Jendela rendah yang tidak terlalu besar menyambutnya. Rumah ini didominasi dari jendela di sampingnya dan tembok penuh di bagian depan. Letaknya yang jauh dari jalan membuat rumah ini sangat sejuk dan asri. Mungkin juga karena ini di Bandung jadi udaranya masih toleran dari polusi.

Tiba di bagian dinding paling ujung sebelum sampai di dapur yang terbuka, Sena melihat siluet seseorang. Sena mendekat untuk melihat siapa itu. Dia mengendap-endap di tembok samping jendela, mata Sena menajam untuk memastikan penglihatannya. Di dalam sana ada Sean yang sedang menyuapi wanita tua yang tidak lain adalah nenek Sean.

Tanpa sadar Sena terus memperhatikan itu sampai jendela dibuka dari dalam dan Sena berjalan mundur. Sean menatapnya tajam seakan ingin mengusirnya.

"Lo di sini buat belajar bukan ngintip." Dari suaranya Sean dipastikan tidak suka karena perilaku Sena.

"Yang mau les sama kamu sudah datang Sean? Ajak ke sini, Nenek mau lihat," kalimat itu membuat Sena lega. Setidaknya ia tidak perlu berdebat dengan Sean.

Sean mengusap wajahnya sebentar dan menatap tajam Sena lagi. "Cepet masuk! Kamar nomor 3 dari ruang tamu. Lima menit atau nggak sama sekali." Lihatlah Sean sudah seperti diktator yang memerintah seenak jidatnya.

Sena berlari menuju depan dan langsung masuk ke rumah. Begitu menemukan pintu nomor tiga dia memelankan lajunya dan mengetuk pintu. Sebelumnya Sena tidak pernah sesopan ini. Entah mengapa ada dorongan di dalam hati kecilnya saat melihat nenek Sean.

"Masuk," jawab seseorang dengan suara kecil tapi masih bisa didengar.

Sena berjalan kaku menuju samping ranjang. Dia masih berdiri hingga nenek Sean menyuruhnya duduk di sampingnya.

"Kamu temannya Sean?"

"Iya."

"Bukan."

Sean dan Sena mengatakannya secara bersamaan. Membuat senyuman muncul di wajah nenek Ratri.

"Nama kamu siapa Nak? Cantik sekali," puji Ratri.

Sena terseyum tulus dan mencium tangan Ratri. "Saya Sena Anggara. Bukan teman dekatnya Sean. Tapi kelas kita bersebelahan."

Itu benar. Sena tidak menganggap Sean temannya. Dia juga sebenarnya ogah berteman dengan cowok freak yang kerap memegang buku di mana-mana.

"Udah Sean bilang kan Nek, dia itu jutek. Cerewet juga." Sean mengadu ke Ratri dengan wajah memohon. Namun sepertinya sia-sia.

"Sena baik kok sama Nenek. Kamu juga sih yang berlebihan. Jangan menilai sikap seseorang dari luarnya. Kamu belum mengenal betul siapa Sena."

Sena tersenyum puas. Akhirnya dia bisa merasa menang saat bicara dengan Sean. Biasanya cowok itu akan mengeluarkan kata-kata pedasnya, namun kali ini tidak akan bisa.

"Ayo!" Sean menarik lengan Sena tapi gadis iti bertahan di tempat.

"Jangan cari alasan buat kabur dari les." Sean menegaskan lagi.

Sena cemberut dan menggeleng. Ia masih betah di dalam kamar ini. "Hari ini udahan. Besok lagi."

"Nggak usah rewel. Gue udah baik hati mau jadi guru les privat lo." Sean kembali menarik tangan Sena dan kali ini berhasil.

"Jangan terlalu kasar Sean." Perkataan Ratri terdengar walau mereka sudah keluar dari kamar itu.

Sean baru melepaskan tangannya saat di ruang tamu. Ia menaruh kedua tangannya di saku dan menatap Sena tajam. "Cepet beresin buku lo. Kita belajar di luar."

Mata Sena membulat tidak percaya. Baru ingin protes ia malah semakin terintimidasi oleh tatapan Sean.

Oke, kali ini Sena akan menurutinya.








An:

Hmm apa kabar? Masih adakah yang baca cerita ini?

Gue sampai lupa kapan terakhir kali update. Sorry banget karena gue lagi sibuk-sibuknya dan nggak bisa lanjut nulis di wattpad. Sama kok, cerita lain juga gue anggurin sementara. Dan SEANA adalah pilihan gue untuk update.

Entah kapan lagi gue bisa update di hari-hari yang sangat sibuk ini.

Kalau ada yang masih stay, ayo dong tunjukin diri kalian wkwk. Dengan vote dan komen ya.

SEANA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang