Hukuman sudah menanti Sena dan Sean saat keduanya turun dari rooftop. Larangan untuk pergi ke atap sudah jelas bahkan ditempel di tangga yang langsung menuju ke sana. Sena tak merasa takut sama sekali dengan hukuman yang maksimal membersihkan toilet atau kodiror. Berbeda dengan Sean, ia sedikit tegang. Sean sangat minim melakukan kesalahan di sekolah. Ia selalu terlihat sempurna di mata guru.
"Nggak perlu tegang gitu. Santai aja, dihukum ya dijalani kan emang salah," ujar Sena.
"Gue nggak takut dihukum Sen."
"Terus apa namanya kalau gitu?" Sena memutar bola mata malas.
Mereka tengah berjalan menghadap Pak Budi yang sudah siap memberikan hukuman. Jangan lupakan hukuman Sena akan double karena ia juga menggunakan ruang musik di luar jam pelajaran.
"Lama sekali jalannya, kalian itu masih muda." Pak Budi sudah bersungut-sungut mengacungkan tongkat kesayangannya.
"Kalau mau cepet ya pakai sepatu roda pak," sahut Sena.
Pak Budi semakin marah, beliau menarik lengan seragam keduanya sampai di depan ruang kepala sekolah. Baik Sena atau Sean kaget karena mereka tidak dibawa ke toilet atau tempat biasanya hukuman diberikan.
"Pak Kepsek mau bicara sama kalian."
"Apa kesalahan kami begitu fatal Pak sampai Kepala Sekolah turun tangan?" Kalau ini Sean kentara sekali takutnya. Sean baru melakukan kesalahan sekali tapi langsung dihadapkan dengan Kepala Sekolah.
"Percaya deh, lo tuh nggak ngelakuin hal sefatal itu Sean. Pasti ada hal lain yang mau dibicarakan," ucap Sena meyakinkan.
"Kalian masuk saja." Pak Budi pergi dari sana setelah melaksanakan tugas dari Kepala Sekolah, membawa Sena dan Sean.
Yang berani membuka pintu tentu saja Sena. Ia melangkah masuk terlebih dahulu baru diikuti Sean di belakangnya. Terlihat Kepala Sekolah memeriksa beberapa dokumen lalu ia segera berdiri karena dua murid yang ia cari sudah datang.
"Sena, Sean, silakan duduk. Kalian jangan berpikiran negatif karena saya panggil ke sini."
"Iya Pak," jawab Sean.
Setelah keduanya duduk, barulah Kepala Sekolah menyampaikan maksud sebenarnya yang mmebuat Sena dan Sean terkejut.
"Bapak tau kemampuan vokal kamu Sena, kamu juga sering ke ruang musik diam-diam dengan menyogok. Kamu pernah membolos karena menerima tawaran untuk mengisi acara, sebuah acara besar yang tidak pernah sekolah ketahui. Di sini saya ingin memberi kesempatan kamu untuk membanggakan sekolah dengan mengikuti kompetisi ini." Kepala Sekolah menyodorkan sebuah pamflet ke Sena. "Kamu bisa mengikutinya, saya yakin kamu bisa memberikan yang terbaik."
Pamflet itu berisi informasi kompetisi menyanyi tingkat Nasional yang diadakan di Jakarta untuk memperingati hari musik Nasional. Sena senang sekaligus bingung. Ia harus memperbaiki nilainya agar mendapat izin penuh untuk menekuni hobinya tapi ia juga ingin sekali menerima tawaran itu.
"Pak, saya boleh minta waktu untuk berpikir?"
"Boleh, saya tunggu sampai besok ya. Kamu bisa langsung ke guru Seni untuk latihan kalau sudah setuju."
Sena tersenyum dan menoleh ke arah Sean. Ternyata cowok itu juga terseyum kepadanya. Seperti meyakinkan Sena kalau apapun yang ia pilih adalah yang terbaik.
"Saya juga punya berita baik untuk kamu Sean. Selama kamu di sekolah ini nilai kamu selalu memuaskan. Atas kerja keras kamu, sekolah akan memberikan kamu beasiswa sampai kamu lulus nanti. Semoga kamu tetap bisa menjaga kepercayaan sekolah, Sean."
Bahagia? tentu saja. Sean sungguh berterima kasih kepada Tuhan yang memberikan kebahagiaan setelag kesedihan yang menerpanya. Ia menatap Sena yang juga senang mendengar berita itu.
"Terima kasih Pak. Saya akan menjaga kepercayaan yang sudah diberikan."
"Sekolah juga perlu berterima kasih ke murid yang seperti kamu Sean. Sudah beberapa kali kamu mengharumkan nama sekolah dengan kemampuan akademik kamu. Semoga beasiswa ini bisa bermanfaat untuk kamu."
"Iya Pak, terima kasih."
Keduanya berpamitan setelah sekiranya tidak ada yang dibicarakan lagi. Keluar dari ruangan, keduanya langsung melompat senang, berputar tanpa sadar saling memegang tangan masing-masing.
"Gue seneng Sen," ucap Sean. Ia yang pertama sadar lalu menghentikan tingkah gila itu.
"Gue juga seneng. Tapi juga bingung harus ambil kesempatan itu atau nggak."
"Kalau perlu minta persetujuan orang tua lo juga."
"Oke, gue coba."
*****
Semenjak putus dengan Leon, berita Sena dan Sean yang sering bersama beredar di sekolah. Kini bahkan mereka jadi pusat perhatian saat melewati koridor. Sungguh Sean tidak suka keadaan seperti ini, tapi ia juga tidak mungkin menutup diri terus-menerus.
Sena memang sempat bercanda dengan Sean di koridor, namun ia menghentikannya saat Elena datang berlawanan arah. Mereka saling menatap dengan pandangan yang sebenarnya sama-sama menyesal dan ingin memperbaiki semuanya. Namun tak satupun kata keluar untuk memperbaiki keadaan itu. Sena membiarkan Elena pergi. Sejujurnya ia sangat kehilangan sosok Elena. Begitupun dengan Elena, ia sangat ingin persahabatannya dengan Sena membaik. Tapi Elena juga ingin Sena sadar kalau dia harus merubah perilaku buruknya karena tidak semua orang nantinya akan terima dengan omongan pedasnya.
"Bilang maaf dan memaafkan sesusah itu ya Sen?"
Sena melirik Sean lalu menarik napas panjang. "Kalau itu mudah, gue nggak akan marahan sama dia."
"Kalau lo mau memperbaiki sesuatu, lo harus berani keluar dari zona nyaman lo. Bilang terima kasih dan maaf adalah hal yang baik. Untuk menghargai seseorang juga untuk menjaga sebuah hubungan. Nggak selamanya kita diam ketika seseorang membantu kita. Juga nggak selamanya kita diam hanya karena tidak mau mengucapkan kata maaf. Kadang bukan pengganti yang lebih baik yang dibutuhkan, hanya sebuah kata maaf semuanya bisa kembali seperti semula."
Sean memberanikan diri untuk menyentuh rambut Sena yang dikuncir kuda, mengusap pelan. "Kalian udah sahabatan lama bukan?"
"Iya sih," jawab Sena setengah menyesal.
"Nah, masa lo mau persahabatan itu hancur gara-gara dari kalian nggak ada yang mau minta maaf?"
"Tapi gue nggak sepenuhnya salah!"
"Oke, lo nggak sepenuhnya salah. Tapi Sen, permintaan maaf nggak selalu keluar dari mulut orang yang bersalah."
"Lo nyuruh gue minta maaf duluan?" tanya Sena tidak percaya.
Sean mengangkat bahunya, ia tidak mau memaksa lebih jauh lagi. "Semuanya balik lagi ke diri lo sendiri."
"Semua orang kalau kasih nasehat pasti ujung-ujungnya, semua balik ke diri sendiri. Ya kalau nggak balik ke diri sendiri mau balik ke mana!"
Sean menyemburkan tawanya. Sena begitu lucu dengan kuncir kudanya dan wajah marah seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEANA (COMPLETED)
Teen FictionSena dan Sean adalah dua kutub berbeda. Yang satu arogan yang satu terlalu freake. Bisakah kedua magnet itu disatukan meski keduanya tak punya sifat yang sama? Cover by @prlstuvwxyz #788 highschool (dari 19,9 cerita)