Enigma

1.4K 214 108
                                    

"Puncak marah paling tinggi bukan lagi memaki. Namun ketika seseorang tidak peduli sama sekali. Bahkan saat kamu mencoba mencari perhatiannya, dia sudah tidak mau tahu sedikit pun."

Boy Candra

.
.
.
.
.

Hoseok merasa bibirnya sulit bergerak. Mungkin fikiran nya terlalu terkejut dengan kata yang di ucapkan ayahnya.

Semua kata yang menjadi pertanyaan hanya menjadi kata tanpa suara. Ia diam, menatap ayahnya. Seolah hilang dari tempat dan ketika Hoseok menyadari bahwa ia tengah melamun, Hoseok mengaruk tenguknya yang tidak gatal. "Begitu ya?." Hanya itu.

Ayahnya tersenyum kecil, mengusak rambut kehitaman Hoseok lalu berguman. "Kau bisa mengajak teman mu menginap disini." Dan berlalu masuk ke dalam rumah.

Iris Hoseok mengikuti. Punggung ayahnya merosot, seperti yang sudah-sudah. Hoseok merasa bersalah, tetapi rasa takut yang tumbuh akibat kekecewaan telah membuat Hoseok merasa untuk tidak pernah bertemu ibunya lagi. Ia menunduk, menyakinkan dirinya bahwa pilihan nya tepat.

Hoseok tidak ingin tersakiti dan hanya dengan menghindari semua masa lalunya, kabur dan tidak mengetahui apa yang terjadi disana maka rasa sakit tidak akan pernah hinggap lagi dalam dirinya.

Ia tahu, setiap kata yang ayah nya ucapkan adalah ajakan untuk mengunjungi sang ibu, mungkin dialam sana ibunya mengunjungi ayahnya berkata bahwa ibunya merindukan Hoseok. Ketika tatapan penolakan Hoseok tunjukan, ayahnya kecewa. Merasa gagal dan tidak dapat menepati janji pada ibunya agar membawa Hoseok berkunjung pada tempat peristirahatan terakhir ibunya.

Ayahnya tidak pernah memaksa. Ia membiarkan Hoseok berfikir dan memilih jalan nya sendiri, ayahnya hanya pendorong agar Hoseok mau maju dan bangkit. Sudah sekian lama, tetapi rasa takut nya tidak pernah hilang.

Ia menggeleng. Lalu menghela nafas panjang sebelum kembali menghabiskan kopi dan melanjutkan mempupuki tanaman nya dengan ribuan pemikiran yang seharus nya tidak ia pikirkan lagi.

Tetapi rasa sesak yang Hoseok fikir akibat ia meminum kopi terasa menghimpit dadanya, ia diam sejenak. Menatap kuncup bunga anyer pink miliknya.

Kembali bayangan ibunya muncul. Ibunya menangis tetapi Hoseok hanya menatap tanpa expresi apapun.

.
.
.
.
.

Senin pagi.

Hoseok berpamitan dengan ayahnya sebelum kakinya melangkah dengan cepat menerobos ribuan orang yang memiliki tujuan berbeda dengan nya, sebagian orang yang sudah memilik pekerjaan akan pergi ketempat kerja nya, sebagian turis, sebagian adalah anak sekolah dan sebagian lagi ada yang bagian dari dirinya. Seorang anak kuliahan.

Kakinya terus melangkah dengan lagu yang mengalun dari lubang kecil earphone miliknya, matanya sesekali memancar mencari sesuatu yang menarik; kakinya tengah berjalan tengah terotoar, samping kirinya terjejer pohon-pohon dengan tinggi sedang, disamping kanannya terdapat jejeran toko yang akan buka. Lalu atensi nya beralih ketika ia berhenti di depan toko elektronik yang pada bagian depan toko dipajang puluhan tv berukuran berbeda-beda. Tetapi menampilkan siaran yang sama.

Siaran bisnis. Kamera sedang menyorot sebuah keluarga besar, keluarga kaya raya yang namanya bahkan sudah sampai di Eropa. Keluarga yang memperkenalkan anak lelaki pertama mereka. Hoseok terdiam, meski jantung nya berdetak dengan tidak karuan. Iris sang kepala keluarga itu tampak bahagia, sebuah kebahagiaan yang sebenarnya menyimpan sebuah singularitas tertutup kebohongan bernama rasa bahagia sebagai sebuah keluarga.

Demian KimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang