Juu~

1.5K 247 29
                                    

"Tuan Muda Jihoon!" seru Samuel seraya melangkah cepat, berusaha memburu Jihoon yang juga melangkah lebar-lebar, sekitar tiga meter di depan. "Tuan muda, tunggu seben--"

"Berhenti mengikutiku!" Jihoon menahan langkah, berbalik menghadap Samuel yang juga menahan langkah, dan menuding sepasang kaki sang pelayan sebagai isyarat agar dia menahan langkahnya sampai di situ saja. Hening menjeda sejenak. Samuel menurut dan tidak bergerak sama sekali.

Samuel menyempatkan diri untuk melirik Jihoon yang ternyata sedang menatapnya juga. Kemudian menunduk lagi demi menjaga etika kepada tuannya. "Tuan Muda hendak ke mana? Kelas belum selesai. Jimin-ssaem tadi memanggil Anda untuk kem--"

"Shireo!" sambung Jihoon, memotong kalimat Samuel, dengan penuh penekanan. Pandangannya dilempar jauh ke luar jendela kaca yang membentang di sepanjang sisi kiri koridor tempat mereka berada. Taman bunga warna-warni menjadi pemandangan yang tersuguh di luar sana. Akan terlihat indah kalau saja suasana hati Jihoon sedang baik. Sayangnya, saat ini, suasana hati Jihoon sedang keruh. Perasaan tak enak tengah berkecamuk di dalam sana. Potongan ingatan tentang wajah Soonyoung di kelas memasak tadi, juga cemooh Jeonghan yang blak-blakan menudingnya sebagai pembohong yang suka menggoda, membuat perasaan Jihoon semakin tak nyaman.

Jihoon seperti ingin menghilang saja rasanya.

Ekspresi tak nyaman di wajah Jihoon langsung terbaca oleh Samuel. Memaksa otaknya berpikir cepat, agar segera menemukan cara untuk menghibur tuan mudanya. "Bagaimana kalau ki--"

"Aku ingin pulang." Jihoon lagi-lagi memotong kalimat Samuel. Entah sudah ke berapa kali. Sepertinya pemuda mungil itu sudah tak peduli. "Aku ingin pulang ke rumah, bukan asrama. Sekarang, bukan besok-besok. Saat ini juga. Arasseo?!" tandasnya, dengan penuh penekanan, ketika melihat raut penolakan di wajah Samuel.

Jika tuannya sudah meminta, mau tak mau, suka atau tidak, seorang pelayan harus menurut. Baiklah. Samuel akan mengantar Jihoon pulang. Pulang ke rumah.

Samuel akhirnya mengangguk sekali, menyetujui permintaan Jihoon barusan. "Baiklah. Saya akan mengantar Anda pulang ke rumah, tapi... mohon kembalikan apron kelas memasak terlebih dahulu. Karena Jimin-ssaem tadi sudah memintanya, Tuan Muda."

Langkah Jihoon yang sudah terayun dua meter pun tertahan seketika mendengar ucapan Samuel barusan. Spontan saja pemuda mungil itu tertunduk, melihat apron coklat motif beruang yang melekat di luar seragamnya. Segera saja dilepas apron itu untuk diserahkan pada Samuel kemudian. Jihoon sama sekali tidak menatap si pelayan yang sebenarnya sedang mengulum senyum sejak tadi. Mungkin malu atau bagaimana.

Entahlah. Biarkan saja.

Your Servant

Sedan putih berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua yang terletak dalam kompleks perumahan sederhana di pinggir kota Busan ketika senja baru saja tumbang di kaki langit. Warna oranye mendominasi langit, tampak menenangkan, kontras dengan hoodie hitam serta celana denim biru navy yang dikenakan Jihoon dan tampak suram. Pemuda mungil itu berjalan pelan memasuki pekarangan rumah. Kedua tangan pemuda mungil itu tersaruk ke dalam saku celana. Sengaja dibenamkan demi menyembunyikan perasaan kesal yang disalurkan melalui kepalan tangannya. Sesekali Jihoon menoleh untuk melihat pemuda western yang masih terus mengekor di belakangnya.

"Kembalilah. Aku sedang ingin sendiri," kata Jihoon tanpa membalik badan. Dia menahan langkah dan menunduk dalam. "Carilah tuan muda yang lain. Aku tak mau lagi. Aku berhen--"

"Shireo!" Kini giliran Samuel yang memotong kalimat Jihoon. Tak tanggung-tanggung, Samuel bahkan sudah memeluk erat dari belakang kini. Melupakan koper yang tergeletak begitu saja, juga langit yang mulai gelap. "Bagi saya, cukup hanya Tuan Muda Jihoon saja. Bukan yang lain. Tolong, jangan membuang saya!"

Keheningan langsung membungkus keduanya. Jihoon tidak melepas, juga tidak membalas, pelukan Samuel. Dia terdiam. Hanya bisa terdiam. Sedikit terkejut ketika merasakan ada sesuatu yang hangat menetes di pundaknya dan ketika Jihoon merasakan gerakan menyesakkan berasal dari dada Samuel, tangan kanan pemuda mungil itu lantas bergerak perlahan membelai pipi kanan Samuel yang mulai basah oleh lelehan air mata.

Entah bagaimana, Jihoon bisa merasakan kepedihan yang mengungkung Samuel saat ini.

Your Servant

Sementara itu, di saat bersamaan dan lokasi berbeda, Hoshi sedang menerima hukuman dari tuannya karena salah menyebut nama---Hoshi berulang kali menyebut nama Jihoon padahal dia sedang melayani Lee Chan dan perbuatannya itu dianggap sebagai penghinaan. Pecutan demi pecutan dilayangkan Lee Chan dengan sekuat tenaga pada punggung Hoshi yang meringis tertahan tiap kali perih terasa.

"Lee Chan! Nama itu yang harus kauingat dalam kepalamu. Bukan Jihoon-ssialan. Arasseo?!" sahut Lee Chan, suaranya menggema dalam ruang dengar Hoshi, sebelum mendaratkan tiga kali pecutan beruntun yang meninggalkan jejak bilur dan bulir-bulir kemerahan di tepiannya. "Sekali lagi kudengar kau menyebut namanya, bisa kupastikan kau akan menyesal." Lee Chan mendesis. Tangannya bergerak menjambak anak-anak rambut Hoshi agar bisa langsung membisikkan ancaman di cuping telinga sang pelayan.

Hoshi terdiam. Sejak diperintahkan untuk melayani Lee Chan, dia memang lebih banyak diam dan menjadi lebih dingin dalam bersikap.

Bahkan dia sendiri lupa kapan terakhir tersenyum.

Matanya memejam perlahan, menahan gejolak emosi negatif di dalam dada juga rutukan untuk dirinya sendiri---Hoshi mengutuk dirinya yang tidak bisa melakukan perlawanan apa pun dengan posisinya saat ini. Dia seharusnya tahu kalau apa yang dilakukannya itu salah. Akan tetapi, melihat kejadian di kelas memasak tadi, pemuda sipit itu kehilangan seluruh ketenangannya.

Di dalam kepalanya yang diliputi surai hitam legam, ada wajah Jihoon dalam berbagai ekspresi yang bermunculan seperti pemutaran film dokumenter; Jihoon yang tersenyum, Jihoon yang tertawa, Jihoon yang menangis, Jihoon yang memberengut, bahkan Jihoon yang mendesahkan namanya pada malam itu.

Jihoon, Jihoon, dan hanya Jihoon.

Satu pecutan kembali dilayangkan Lee Chan saat Hoshi tanpa sadar mendesiskan nama Jihoon di ujung permintaan maaf yang sebenarnya ditujukan untuk Lee Chan, tuannya.

Hoshi pun tersentak sadar dan kaget karena mengulangi kesalahan yang sama sekali lagi.

"Baiklah," desis Lee Chan akhirnya, "kau sendiri yang menginginkan ini. Jangan salahkan aku jika akhirnya kau harus menyesal nanti." Lantas melangkah pergi setelah melempar asal cambuk bahan kulit dengan gerigi besi di tiap sisinya yang dipenuhi bercak kemerahan dari luka-luka di punggung Hoshi.

Pintu berdebam keras karena dibanting kasar. Ruangan empat kali empat yang remang-remang itu kembali sunyi. Tidak terdengar lagi suara pecutan maupun erangan tertahan. Hanya keheningan yang mencekam dan Hoshi yang susah payah berdiri dari posisinya berlutut di depan sebuah meja pendek. Dia meraih kemeja putih dan jas hitam yang berserakan di lantai kemudian memakainya. Tidak peduli perih yang terasa mengiris maupun jejak darah yang langsung merembes ke kemejanya, Hoshi turut beranjak keluar setelah merapikan diri.

Your Servant


























































(dz_14119)

Your ServantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang