Jihoon menatap sebal pada pantulan dirinya di cermin.
Ralat.
Bukan pada pantulan dirinya. Tetapi pada pantulan bayangan pemuda bermata sipit yang ada di belakangnya.
Pada Hoshi, si pelayan.
"Sampai kapan kau akan berdiri di sana, huh?" Jihoon bertanya sinis sambil mengancingkan kemejanya. "Aku sudah besar. Tidak butuh bantuan siapa pun," imbuhnya, masih dengan nada suara dan tatapan sinis yang sama. Tak ada respons. Jihoon mencebik. Sebal bukan kepalang.
Ada jeda sekian detik sebelum Hoshi menjawab, "Sampai Anda menyuruh saya pergi, Tuan Muda."
Bibir Jihoon membulat perlahan.
"Pergilah. Aku bisa sendiri."
Hoshi mengangguk sopan. Meletakkan telapak tangan kanan di bagian dada kiri lalu mundur teratur menuju pintu. Akan tetapi, ketika hendak memutar knop pintu, langkah pemuda sipit itu tertahan pertanyaan Jihoon, "Bagaimana kau bisa masuk? Pintu itu sudah kukunci dari dalam...."
Pemuda mungil itu sudah membalik tubuhnya. Bersedekap dengan sepasang mata semi sipit menatap sebal pada Hoshi.
Tentu saja pelayan tersebut paham maksud pertanyaan tuannya. Jihoon pasti kaget. Karena Hoshi bisa langsung masuk begitu mendengar suara berisik dari arah kamarnya ini. "Saya... memiliki kunci duplikat semua pintu di kamar ini, Tuan."
Lagi-lagi Jihoon berdecak sebal. Sesuai dugaannya. Mendadak pemuda mungil itu mengerang frustrasi. Semakin kesal karena telah kehilangan privasi.
"Keluar dari kamarku sekarang juga! Aku tidak butuh kau juga bantuanmu, ara?!" seru Jihoon tak lama kemudian.
Pemuda mungil itu lantas berjalan cepat menghampiri Hoshi untuk mendorongnya secara kasar keluar kamar kemudian. Melampiaskan kesal yang bercokol dalam dadanya.
Tak lama setelah itu, suara pintu berdebam kasar lantaran dibanting oleh pemiliknya terdengar memekak telinga.
Jihoon terduduk dengan kedua kaki diluruskan ke lantai tepat di belakang pintu. Menjambak kasar anak-anak rambutnya sebelum akhirnya terisak pelan sambil memeluk kedua lututnya.
Pemuda mungil itu menangis. Menumpahkan rasa kesal pada dirinya sendiri yang tidak tahu apa-apa perihal perubahan sikap dan sifat sahabat yang amat dicintainya itu.
Your Servant
Pelajaran pertama langsung dimulai tak lama setelah lonceng penanda yang terletak di menara utama gedung akademi bergaya victoria ini berdentang.
Kelas unggulan yang hanya berisi enam siswa, terdiri dari putra para pengusaha ternama di Seoul, sudah mengisi tempat duduk masing-masing. Mereka tampak begitu fokus memerhatikan guru bahasa asing yang sedang menjelaskan di depan kelas.
Sesuai dengan prinsipnya, mengutamakan kualitas daripada kuantitas, akademi mewah ini pun tidak main-main soal tenaga pengajar. Pihak yayasan mendatangkan orang-orang terbaik di bidangnya untuk mengajari para siswa.
Kelas begitu tenang dan tertib.
Sama sekali tidak ada kerusuhan sebagaimana yang sering terjadi di kelas biasanya.
Jihoon yang terbiasa dengan kelas yang mirip pasar pun dengan mudahnya jatuh ke dalam perasaan bosan. Dia sama sekali tidak memerhatikan penjelasan dari gurunya. Justru melemparkan pandangan jauh ke luar jendela.
Tepatnya pada sebuah gedung yang baru kali ini diperhatikan Jihoon. Gedung itu berada tepat di sebelah dinding akademi. Bercat abu-abu dan berbentuk seperti kubus dengan beberapa jendela besar yang melengkung di bagian atasnya. Ada jejak lumut di beberapa bagian pada dindingnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/130747243-288-k128644.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Servant
Fanfiction[On Going] - [Soonhoon] - [BXB!] Selamat pagi, Tuan Muda! Saya Hoshi. Mulai hari ini saya adalah pelayan Anda! -Hoshi- Namaku Jihoon, bukan Tuan Muda! -LJH- . Disclaimer: Seluruh karakter asli merupakan milik pribadi, keluarga, dan agensi masing-ma...