Juu-san

1.4K 227 30
                                    

'Chanie, ingatlah!
Appa-mu tidak pernah mencintai wanita itu. Mereka menikah hanya karena dijodohkan dan Appa-mu kembali ke sana pun demi mencarikan keadilan untukmu. Percayalah, kau terlahir karena cinta.
Bukan seperti anak itu, anak yang lahir karena paksaan.'

.

Lee Chan tersentak.

Terbangun paksa oleh mimpi yang sama. Lagi. Seperti pagi-pagi sebelumnya.

Mimpi tentang obrolan bersama ibunya, sehari sebelum wanita empatpuluh tahun yang sebenarnya masih cantik itu ditemukan tewas mengenaskan dengan pergelangan tangan menganga oleh bekas sayatan.

Lee Chan selalu berharap kejadian hari itu adalah mimpi buruk yang akan hilang begitu terbangun. Sayang, semua itu nyata adanya. Sosok wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya itu memilih mati daripada harus hidup diduakan oleh sang suami.

Aroma khas kayu manis langsung menyapa ruang hirup Lee Chan begitu mendapatkan seluruh kesadarannya. Pemuda bertubuh mungil berisi itu menggeliat pelan di antara kasur dan selimut tebal serbaputih. Melenguh untuk melepaskan kantuk yang tersisa.

Ekor mata sipitnya menangkap siluet pemuda tinggi semampai terbalut setelan hitam khas pelayan. Itu Hoshi. Dia tampak serius mengeluarkan sepasang seragam dari dalam lemari. Meletakkannya dengan hati-hati sebelum melemparkan seulas senyum simpul pada Lee Chan.

"Selamat pagi, Tuan Muda. Mau mandi atau minum teh dahulu? Hari ini saya membawakan teh melati dari Indonesia. Aroma khas bunga melati akan membuat Anda rileks setelah melewati malam yang panjang, Tuan Muda." Hoshi berujar tanpa menghapus senyum dari wajahnya. Tentu saja membuat Lee Chan heran. "Selain itu saya juga membawakan bolu rempah dengan taburan bubuk kayu manis yang juga khas dari Indonesia sebagai teman teh melati Anda," sambung Hoshi tanpa melenyapkan segaris senyum dari wajah tirusnya.

Lee Chan yakin itu merupakan kalimat terpanjang yang diucapkan pelayannya itu semenjak dia diminta menjadi pelayan pribadinya. Oh, jangan lupakan senyumannya tadi. Bahkan Lee Chan sendiri sudah hampir lupa kapan terakhir kali dia melihat senyumnya itu.

"Kau tidak sedang kerasukan sesuatu, kan?" Lee Chan adalah seorang bocah belasan tahun yang masih jujur pada perasaannya. Termasuk pada apa yang ada di dalam pikirannya. Sehingga dia akan mengutarakan begitu saja tanpa ragu-ragu.

Namun, sepertinya Hoshi tidak menyadari keheranan yang tergurat di kening tuannya. Alih-alih menjawab pertanyaan tadi, Hoshi mengangsurkan kimono mandi lantas berujar, "Air hangatnya sudah siap, Tuan Muda. Hari ini saya memberikan tetesan minyak nilam untuk aromaterapi. Duapuluh menit lagi supir akan menjemput."

Diabaikan tentu saja menyebalkan. Apalagi oleh seorang yang secara kedudukan berada di posisi bawah. Lee Chan baru akan menyalak lagi, tapi dering ponsel menyela.

Ada panggilan masuk dari Appa.

"Yeoboseo. Ne, Appa." Hoshi dengan sopan menjauh ketika Lee Chan menjawab panggilan tersebut. Langsung berjalan menjauh, tak lupa membawa kimono mandi yang belum sempat diambil Lee Chan tadi. Bahkan bermaksud keluar kamar, tapi ditahan dengan isyarat oleh Lee Chan. "Ne, arasseo. Aku baru akan bersiap." Dan panggilan terputus tak lama kemudian. "Ck, berisik sekali. Hari ini kontes itu akan dimulai. Appa memintaku untuk bersiap." Lee Chan merentangkan kedua tangannya di depan Hoshi yang langsung paham maksudnya.

Hoshi lantas melakukan tugasnya sebagaimana pelayan. Membuka satu per satu kancing piyama dan menggantikannya dengan kimono mandi. Bukan hal baru jika pelayan melihat tubuh polos tuannya.

Your ServantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang