Juu-Nana

1.1K 139 8
                                        

'Hanie, mulai hari ini Seungcheol akan menjadi temanmu. Dia adalah putra Kepala Pelayan Choi. Kelak dia yang akan menjadi pelayan yang mengurusi segala keperluanmu.'

Hari itu, setelah hujan deras mengguyur kota Seoul seolah hendak menenggelamkannya, Appa datang membawa seorang bocah laki-laki ke rumah kami. Seperti yang dikatakannya, bocah laki-laki bernama Choi Seungcheol itu merupakan putra dari kepala pelayan kepercayaan di keluarga kami. Orang yang kelak bakal menjadi pelayan untukku. Yeah, begitulah.

Terlahir sebagai anak dari sepasang orang tua kaya-raya sebenarnya tidak terlalu 'wah!' sebagaimana yang mungkin sering dibayangkan orang-orang.

Well, setidaknya, menurutku.

Sekali pun semua kebutuhan secara materi bisa terpenuhi, tapi sebagai manusia, ada hal penting yang tidak terpuaskan oleh semua itu. Karena kedua orang tuaku amat-sangat sibuk mengurusi satu dan lain hal di luar sana, jadilah segala urusan di rumah dipercayakan pada kepala pelayan yang sudah turun-temurun melayani keluarga kami.

Mulai dari urusan pakaian, makanan, bahkan pendidikan.

Eomma tidak pernah tahu jas warna apa yang sering kupakai jika ke sekolah dan sepatu jenis apa yang kusukai, tapi Bibi Choi tahu. Eomma tidak akan tahu kalau aku lebih suka salad daripada steak, tapi sekali lagi Bibi Choi tahu betul tentang itu. Appa juga tidak pernah tahu siapa guru favorit di sekolah dan lagu apa saja yang sudah bisa kumainkan dengan grand piano yang ada di ruang tengah rumah kami, tapi Kepala Pelayan Choi tahu kalau Chopin dan Mozart adalah panutanku selama ini.

Mereka berdua sibuk. Sangat sibuk. Sehingga menyerahkan segala urusan tentang anaknya kepada Kepala Pelayan Choi.

Seperti halnya aku yang diberikan bocah bernama Seungcheol sebagai pelayan, kakakku Ren juga demikian. Ah, omong-omong soal kakakku itu, dia sedang bersekolah di Pledis Gakuen. Sekolah berasrama yang sangat diidamkan semua orang dan juga berstandar internasional. Kelak, jika sudah waktunya, aku juga bakal sekolah di sana. Bersama dengan pelayanku juga tentunya.

Kembali ke bocah pelayan tadi.

Aku meliriknya tanpa minat. Dia terlihat cocok dengan bulu mata lentiknya dan aku sedikit cemburu karena tidak memiliki itu secara alami sepertinya. Kulihat dia mengukir senyum simpul ketika tatapan kami tak sengaja bertemu. Kemudian dia membungkuk dalam, sembilan puluh derajat, padaku. Menunjukkan betapa orang tuanya berhasil mendidik bocah tersebut menjadi sosok yang sopan. Tidak sepertiku yang melenggang pergi tanpa membalas salamnya sama sekali.

'Salam kenal, Tuan Muda. Saya Choi Seungcheol. Mohon bimbingannya.' Dia berkata begitu dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuh. Kelihatan jelas kalau dia sedang menahan gugup, suaranya bahkan terdengar seperti bergetar menahan tangis, tapi jelas juga terlihat kalau dia berusaha keras ingin tampak baik-baik saja dengan keadaannya itu.

Dia berhasil menyusulku yang sedang membaca buku di taman belakang rumah kami yang mahaluas. Kali ini dia sendirian. Tidak bersama Appa. Karena aku yakin Appa lebih memilih menjawab panggilan rekan kerja daripada mendengarkan aku merengek seperti anak lainnya.

Menyebalkan.

Seperti biasa, aku hanya bergumam menanggapinya. Tanpa minat sama sekali.

Kemudian bocah itu berdiri di sebelah kursiku. Tegap dan seolah patung batu yang menatap awas tanpa berkedip barang satu kali pun. Sekali lagi aku dibuat takjub betapa orang tuanya berhasil mendidiknya.

Your ServantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang