04: Kedamaian sebelum Bencana

2.5K 246 2
                                    

"Tuan Ichiro, hamba sudah kembali." Suara seorang pria yang dalam, mengganggu waktu bermain Ichiro.

Wanita cantik dengan bibir merah membara yang dibawa Ichiro ke atas tempat tidur mengeluh karena Ichiro berhenti di saat-saat klimaksnya. Setelah menghibur wanita itu, Ichiro mengenakan pakaiannya lalu berjalan keluar dari tirai yang menutupi tempat tidurnya.

Matanya yang beriris hijau menatap tajam ke arah pria yang mengganggunya itu. Ia merapikan rambut hitam panjangnya agar tidak menutupi wajah. "Aku harap ini adalah info yang kuinginkan," ujarnya dengan nada mengancam.

Pria itu sedikit gemetaran. Berdeham kecil, ia membuka suara, "Hamba menemukan darah kotor itu."

Mata hijau Ichiro berkilat senang. Senyum mulai terlukis di wajah tegasnya.

"Kita harus menjemputnya secepatnya. Siapkan semuanya!"

Pria itu langsung mengangguk dan pergi dari situ meninggalkan Ichiro yang masih tersenyum lebar.

Tirai tempat tidurnya terbuka dan wanita tadi yang telah berpakaian serba merah menatap aneh ke arah Ichiro. "Ada sesuatu yang menyenangkan?" tanyanya dengan suara menggoda.

Ia berjalan pelan mendekati Ichiro lalu melingkarkan tangannya yang lembut pada leher Ichiro. Kaki mulusnya ia angkat keluar melalui potongan kimono-nya hingga mengekspos pahanya yang putih pucat itu dan ia lingkarkan kaki itu pada pinggang Ichiro - berusaha merangsang pria itu kembali untuk melanjutkan kegiatan mereka yang belum selesai.

Ichiro tersenyum kecil. Ia mencium bibir merah wanita itu dengan dalam.

"Aku sudah menemukan yang kucari, sebentar lagi, pesta besar akan dibuka," ujarnya.

"Pesta besar?" Wanita itu menatapnya penuh penasaran.

Namun, Ichiro tidak lagi menjawab. Ia kembali mencium wanita itu dan mendorongnya kembali ke atas tempat tidur.

*****

Jam istirahat siang yang panjang telah tiba di hari kedua tahun ajaran baru. Kepala Atsushi dan Mahiru terkulai lemas di atas meja dan asap kecil sepertinya mengepul dari atas kepala itu.

Keduanya menatap kosong seperti nyawa mereka telah hilang. Alasan mereka menjadi seperti ini tentunya berbeda.

Mahiru menjadi seperti ini karena Zen sudah memulai acara belajar setiap pagi lagi. Namun, karena libur yang terlalu panjang, otaknya yang sudah mulai berkarat, kesusahan mengikuti pelajaran itu. Apa lagi, pelajaran dari Zen selalu saja dalam jumlah besar sehingga jika ditambah lagi dengan pelajaran dari para guru, ia telah menggunakan seluruh otaknya hari ini dan kehilangan energinya sekarang.

Sedangkan alasan untuk Atsushi adalah sesuatu yang bisa ditebak dengan mudah. Ia kelelahan karena duduk di sebelah Kaoru. Ketakutannya begitu besar sampai telinga dan ekornya yang tersembunyi pun sudah lemas, untungnya ia tidak kehilangan kontrol sehingga telinga dan ekornya tetap tersembunyi dengan baik. Baru setengah hari ia bersekolah dan ia berhasil untuk tidak pingsan tapi tentunya tidak ada pelajaran yang masuk di otaknya juga.

"Aku khawatir dengan nilaiku di masa depan," gumam keduanya secara kompak.

Zen berjalan mendekat dan menepuk pelan kepala keduanya. "Kalian sudah bekerja keras. Usaha sebentar lagi. Aku akan mentraktir kalian makan nanti," ujarnya.

Mahiru langsung mengangkat kepalanya dengan mata berbinar. "Benarkah?" Ia sudah mulai bisa membayangkan makanan yang akan ia santap nanti.

"Katakan apa yang kau mau. Aku akan membawamu ke sana," ujar Zen lagi semakin melebarkan senyuman Mahiru.

Setelah berpacaran selama hampir satu tahun, Zen mulai tahu cara memenangkan hati Mahiru yang kerja otaknya sederhana ini. Hanya perlu menyuguhkannya makanan dan dia akan kembali bahagia. Benar-benar sederhana.

Namun, hal ini tentunya tidak berlaku dengan Atsushi. Kepala laki-laki itu masih terkulai lemas.

"Atsushi," panggil Chiaki yang berdiri di sebelah Zen.

"Kesedihanku ini tidak bisa dibayar dengan makanan," gumam Atsushi sedikit cemberut.

"Hoohh, ini adalah peristiwa langka, Zen!" seru Chiaki semangat.

Zen menganggukkan kepalanya sedangkan Mahiru menatap mereka tidak paham.

"Apanya yang langka?" tanya Mahiru dan Atsushi.

"Langka karena kau jarang ngambek dan marah. Kebanyakan yang marah itu Zen sedangkan kau hanya selalu mengajak kita untuk kembali damai," jelas Chiaki lagi.

Mahiru berpikir sejenak lalu mengangguk setuju. Ia belum lama berteman dengan mereka tapi ia bisa melihat itu.

Sementara itu, Atsushi mengernyitkan dahinya. Ia merasa ia sering marah dan ngambek sepanjang ingatannya. Namun, karena ia sekaligus pecinta ketenangan dan kedamaian, ia juga tidak ingin mencari masalah besar hingga harus berkelahi.

"Aku rasa tidak seperti itu," gumamnya menolak gagasan Chiaki.

"Kau seperti itu!" ujar Chiaki tidak menerima tolakan.

Atsushi menggaruk kepalanya. Mungkin karena keberadaan Zen yang selalu emosian itulah yang membuat Atsushi berubah peran menjadi pendamai di dalam kelompok persahabatannya.

Pada dasarnya, Atsushi juga cukup kekanakan dan ia mengakui kenyataan itu. Hanya saja, karena ia dibesarkan tanpa orang tua, ia sering menekan sifat kekanakannya itu untuk tidak menyusahkan orang lain yang sudah mau mengasuhnya.

"?!" Atsushi tiba-tiba gemetaran.

"Ah! Aku akan menahan Kaoru!" seru Mahiru yang langsung berlari keluar kelas.

Setelah beberapa saat, Atsushi menghela napas lega. Sepertinya Mahiru berhasil.

"Kalau dalam jarak sejauh itu saja kau sudah gemetaran, apa ada gunanya kau pindah bangku?" pikir Chiaki.

"Setidaknya bisa menjauh dari dia itu akan lebih baik. Gemetarnya akan sedikit berkurang," ujar Atsushi mengundang anggukan dari keduanya.

"Sepertinya aku tidak akan bisa bertahan selama satu minggu. Aku harus pindah secepatnya sebelum aku benar-benar tidak paham satu pun pelajaran," ujarnya lagi.

Mata Chiaki langsung berkilau. "Serahkan padaku!" serunya semangat.

Mengira ia bisa melakukan sesuatu, Chiaki malah meletakkan tangannya pada bahu Zen. "Minta tolong Eiji -sensei, pasti dia akan memindahkannya," ujar Chiaki.

"Hm? Kau minta aku bicara pada kakak?"

Chiaki mengangguk yang langsung mendapat pukulan di kepalanya dari Zen.

"Kau bilang serahkan padamu tapi kau menyerahkan hal itu kepadaku bahkan sebelum sedetik mengatakannya!" gerutu Zen tapi ia tetap berjalan keluar dari kelas, sepertinya pergi menuju kantor guru.

*****

"Mengganti bangku? Memangnya ada masalah dengan Sendagaya?" tanya Eiji bingung.

"Hmm ... begitulah," ujar Zen tidak tahu harus bagaimana menceritakannya.

Eiji mengerutkan keningnya. "Aku tidak bisa memberi ijin pindah tanpa alasan jelas. Aku akan minta alasannya dari Atsushi setelah homeroom. Setelah itu, baru akan kuputuskan."

Jadi, begitulah. Setelah Eiji menyelesaikan homeroom dan memulangkan semua murid, ia menanyakan alasan itu kepada Atsushi. Zen, Mahiru, dan Chiaki ikut menunggu di dalam kelas yang sudah kosong itu karena mereka sudah berjanji akan makan setelah ini.

"Takut? Ada sesuatu di antara kau dan Kaoru?" Eiji tidak paham.

Atsushi menggeleng. "Aku juga tidak tahu mengapa."

Eiji menggosok dagunya. Dengan alasan tidak jelas begini, ia jadi bingung harus bagaimana tapi selama homeroom ia juga memperhatikan gelagat Atsushi. Memang, siswanya yang satunya ini terlihat aneh dan ketika ia memanggilnya tadi, wajahnya pucat.

Jika dibiarkan, bisa memberi efek negatif juga pikirnya.

Eiji akhirnya mengangguk. "Baiklah, kau mau dipindahkan ke bangku depan kan?"

Atsushi mengangguk. "Paling depan juga tidak masalah!"

Karena bangku Atsushi sekarang adalah bangku barisan paling belakang, ia dengan senang hati berada di paling depan jika memang dengan begitu, setidaknya ia masih bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran.

"Baiklah. Aku akan urus nanti," ujar Eiji akhirnya.

Atsushi menghela napas lega. Ia mulai membayangkan masa depannya yang akan sedikit lebih indah.

Begitulah yang ia pikirkan. Namun, sepertinya dunia ini tidak sebaik itu padanya.

Baru saja mereka menyelesaikan pembicaraan, kaca jendela kelas tiba-tiba pecah.

"Ada apa ini?!" seru Mahiru kaget.
Di luar jendela yang pecah, beberapa orang dibalut pakaian hitam sampai ke wajahnya mengambang.

"I--ini lantai 3! Bagaimana bisa?" gumam Eiji kaget.

Beberapa orang yang mengambang itu langsung masuk ke dalam kelas tanpa mengatakan apa pun. Namun, mereka terlihat membahayakan.

Mereka semua diam-diam, mundur beberapa langkah. Berharap bisa kabur dari sini tapi itu adalah harapan kosong.

Orang-orang itu tiba-tiba menghilang dan sedetik berikutnya telah berada di belakang mereka masing-masing dan membungkam mulut mereka.

"Darah kotor berhasil di tangkap."

"Yang lainnya mau digimanakan?"

"Itu--"

Mereka tidak dapat mendengar kelanjutan pembicaraan orang-orang misterius itu karena kesadaran mereka menghilang.

______
_________

AOI update lg!! Akhirnyaa... :-D

Dri kemarin agk kesusahan krna mindahin brg ke hp dan cukup byk jd gx sempet untuk mikirin cerita dlu 😣

Seperti biasa, terima kasih utk vote & commentnya y

Kemungkinan malam ini atau besok ak bsa update lg! Ditunggu y 😘😘

Marry The Enemy [BXB] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang