Hari ini hari kepulanganku dari rumah sakit. Mama membantuku berkemas dan bersiap-siap. Aku duduk di atas ranjangku dengan tangan digips dan kaki yang masih diperban sambil memegang crutch untuk berjalan.
Pintu diketuk pelan dan muncul sosok yang selalu mengisi hariku dua minggu ini, Azka. Dia dengan sabar mengunjungiku tiap hari dan membawakan apa yang aku minta. Dia juga selalu menemaniku berjalan-jalan di taman rumah sakit sambil mendorong kursi rodaku dan menceritakan tentang harinya atau masa lalu yang katanya pernah kami lalui bersama, meskipun aku tidak pernah menanggapi ceritanya dan hanya bersikap acuh tak acuh terhadapnya.
Aku heran, apa dia tidak punya kesibukan lain selain menungguiku di rumah sakit?
Azka menghampiriku dengan senyum menawannya yang –menurut teman-teman sekelasku dulu– memabukkan. Tangan kanannya membawa sebuket bunga matahari, bunga kesukaanku, dan menyerahkannya kepadaku.
“Bahasa bunga matahari, ‘Aku selalu memandangmu’, my sunshine,” ucapnya sambil tersenyum lebih lebar. Aku heran, darimana dia mengetahui bunga kesukaanku? Dia kan suamimu, tentu saja dia tahu. Yah.. Kalau dia memang benar suamiku.
Mama menyikut lenganku pelan, memberi instruksi untuk menerima bunga pemberian Azka.
“Ewhh.. Sounds gross. It doesn’t fit you! But anyway, thanks, makhluk astral,” jawabku sambil menerima bunga itu.
“My pleasure, my queen.” Dia menyengir lebar dan membantu Mama mengangkat tas berisi keperluanku selama di rumah sakit.
“So, ready to go to our loving home?” dia menatapku meminta jawaban.
“Bukankah aku akan pulang ke rumah Mama?” aku menaikkan sebelah alisku menatapnya heran.
“No, honey! We shouldn’t bother our parents anymore. Kita akan tinggal di rumah kita.”
“Ma… Aku mau pulang ke rumah Mama…” rengekku manja sambil menatap Mama meminta bantuan.
“Tidak, Nak. Kamu harus pulang ke rumah suamimu. Mana ada anak perempuan yang sudah menikah tapi tinggal di rumah orangtuanya padahal dia sudah punya rumah sendiri,” Mama berkeras menolak permintaanku.
Aku mendengus sebal dan berjalan mengikuti Azka yang sudah lebih dulu berjalan keluar sambil menjinjing seluruh barang bawaanku. Mama membantu memapahku pelan. Aku menggunakan crutch dengan tidak terbiasa. Papa dan Viona tidak bisa menemaniku keluar rumah sakit hari ini karena Papa ada meeting penting dan Viona ada kegiatan penting di kampusnya.
Sesampai di pelataran parkir rumah sakit, Azka menuntunku dan Mama ke sebuah mobil Lamborghini hitam. Dia membukakan pintu untuk Mama dan aku.
Lamborghini? Seberapa kaya dirinya? Aku menaikkan sebelah alisku ketika memasuki mobil, berusaha menahan pertanyaan dalam benakku yang akan membuatku malu nantinya kalau kuutarakan.
Mobil berjalan perlahan meninggalkan rumah sakit menuju ke sebuah komplek apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan yang kuyakini harganya tak kurang dari sepuluh digit per unit apartemennya. Dia memberhentikan mobilnya di depan apartemen dan memberikan kunci mobil ke petugas vallet. Kemudian memapahku keluar dari mobil dan mengawal langkahku dan Mama.
Kami memasuki lift dan berhenti di lantai paling tinggi di bangunan apartemen ini. Ketika lift terbuka, tampak sebuah pintu besar di seberang lift. Sepertinya kami bukan tinggal di salah satu unit apartemen di bangunan ini. Ini seperti… penthouse khusus? Aku mulai mempertanyakan seberapa banyak aset yang dia miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
27 to 20
RomanceWhat will you do if you sleep for a long time and wake up with no memories left on your mind about the current situation? Additional problem, you later learn that you are pregnant with the kid of your ultimate biggest enemy in life. What a terrible...