BAB XVII

79K 3.4K 141
                                    

Senyum masih menghiasi wajah Kaukasian pria tampan itu, sementara di hadapannya, si wanita menatap gugup sambil memilin jarinya.

"Hey, ayolah, sunshine. Berikan suamimu yang merana ini paling tidak satu ciuman saja." Azka mengedip jahil dan merentangkan tangannya lebar, dengan gerakan ingin memeluk Maureen yang tampak resah di hadapannya.

"Dasar pervert!" pekik Maureen tertahan. Wajahnya merona hingga daun telinganya. Ia menunduk sambil berdiri menghadap Azka yang tengah terduduk di sisi ranjang mereka.

Azka menanggapi dengan tawa renyahnya yang khas. Membangkitkan satu getaran tersendiri yang menggelitik ulu hati Maureen.

"Bukankah ini malam pengantin kita? Ayolah, bukankah sebuah ciuman lazim dilakukan oleh sepasang pengantin baru?" Azka menyelingi ucapannya dengan seringai jahilnya.

Wajah Maureen semakin memerah. Ia meraih salah satu bantal dari atas ranjang dan menggunakannya untuk melempar Azka dengan gemas, yang hanya ditanggapi Azka dengan tawanya yang semakin kencang.

"Hahaha.. Nggak usah malu-malu, sunshine. Bukankah kita ini pengantin baru stok lama? Kita sudah pernah melakukan lebih dari sekedar ciuman." Azka menarik Maureen lembut untuk duduk di sampingnya.

Maureen bukan tidak mau mencium Azka, tetapi dia sangat malu. Bagaimanapun, dia belum pernah memulai mencium seseorang terlebih dahulu, setidaknya itu yang dia ingat.

"Aku... aku malu..." Maureen bercicit kecil sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Azka menatap istrinya yang manis dengan tatapan lembut dan meneduhkan. Seringai jahil telah hilang dari wajah tampannya, berganti dengan senyumannya yang lembut dan hangat. Ia menyingkirkan sejumput rambut halus dari wajah istrinya dan mengaitkannya ke belakang telinga. Dengan lembut, Azka mengurai tangan Maureen yang menutupi wajah cantiknya.

Maureen menatap Azka dengan pandangan malu-malu. Masih tidak berani menatap sepasang iris mata hitam itu.

Azka menyentuh dagu Maureen dan mengangkatnya lembut, memaksa mata cokelat itu untuk menatap mata hitamnya.

"Untuk apa malu, sunshine? Matahariku adalah wanita paling cantik dan mempesona yang pernah kulihat seumur hidupku, dan sampai aku menutup usia nanti. Kamu adalah makhluk terindah yang tanpa cela di mataku. Jadi, untuk apa malu?" Azka menatapnya lembut.

Maureen akhirnya menatap mata hitam itu, ia terbius dengan ucapan suaminya dan hanya mampu terpaku menatap mata hitam itu. Hatinya berdebar keras. Ia sangat gugup sekarang. Layaknya seorang gadis yang tengah menghadapi malam pertama dalam pernikahannya.

Dan, seperti dugaan awalnya, ia tidak akan mampu menatap mata hitam itu tanpa terhipnotis dengan pesona pemiliknya. Maureen menatap Azka lekat tanpa mampu berpaling sedetikpun. Sampai Azka mendekatkan wajahnya dan menempelkan bibirnya yang hangat di permukaan bibir Maureen.

Ciuman itu sangat hangat dan lembut. Mata Azka yang dipenuhi kabut gairah, menuntun Maureen untuk menurutinya melangkah lebih jauh. Ia membaringkan istrinya lembut ke ranjang mereka. Menuntunnya meraih kenikmatan yang tersembunyi dengan gerakannya yang lembut dan hati-hati, tidak ingin menyakiti istri dan anak mereka.

***

Pagi yang cerah dengan mentari yang bersinar terang, menampakkan sinarnya yang mahadahsyat, seakan enggan menyembunyikan pancaran dirinya yang berkilau. Sinarnya menyusup samar melalui celah jendela kamar sepasang pengantin baru yang baru melangsungkan pernikahan mereka -lagi. Si wanita yang tengah berbaring di tempat tidur menggeliat pelan, masih sensitif dengan rangsang cahaya yang menimpa kelopak matanya. Ia membuka matanya perlahan. Menggunakan waktu beberapa detik untuk mengumpulkan kesadarannya sambil mengingat apa yang telah terjadi.

27 to 20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang