"Ma, makasih ya, udah ngijinin aku dan Azka nginap di sini." aku tersenyum tulus pada Mama Azka. Hari ini, aku dan Azka akan pulang ke rumah kami. Masih terasa agak mengganjal sebenarnya untukku mengucapkan kata 'kami' untuk mewakili aku dan Azka.
"Ya ampun, Reen. Kamu itu seperti sama siapa aja. Ini rumah kalian juga, loh. Nggak perlu sungkan begitu." Mama Azka tersenyum tulus seraya merangkul dan mengusap pelan pundakku. Gurat-gurat halus pertanda usia yang tak lagi muda tercetak jelas di wajah ayunya ketika tersenyum, melukiskan kebijakan yang ia miliki sepanjang usianya.
Hatiku menghangat menatap wajah ibu mertuaku. Bolehkah aku panggil begitu? Walaupun aku tak yakin menikah dengan anaknya?
Ia menuntun langkahku ke pintu depan rumah, di mana Azka dan ayah mertuaku sudah menunggu di samping 'kuda hitam'nya, si Lamborghini hitam.
Azka mengulurkan tangannya untuk membantuku memasuki mobilnya. Aku merasa ragu, masih tidak terlalu terbiasa dengan skinship yang kami lakukan. Aku memandang ke arah kedua mertuaku yang memandang kami dengan senyum merekah di wajah mereka. Tegakah aku mengecewakan mereka dengan menolak uluran tangan ini?
Dengan canggung, aku menerima uluran tangan Azka. Getaran listrik pelan seperti menyengat hatiku ketika tangan kami bersentuhan, tetapi hatiku enggan melepaskan genggaman tangan hangat yang awalnya kutolak. Ketika Azka mendudukkanku di jok penumpang dan melepaskan genggamannya, aku merasakan rasa kehilangan yang luar biasa.
Ada yang salah denganku! Kenapa aku tidak rela kalau Azka melepas genggamannya? Bukannya aku membencinya?
Mataku berkabut dan terasa panas. Aku menunduk menyembunyikan wajahku di balik rambut ikalku yang terurai. Dapat kurasakan mobil bergerak seiring mesin dinyalakan oleh Azka. Azka mengklakson sekali dan dapat kulirik ia tengah melambaikan tangannya pada kedua orang tuanya. Sebagai wujud rasa hormat, aku ikut melambaikan tangan dan tersenyum walau mataku berkaca-kaca menahan air mata yang entah kenapa ingin melesak keluar.
"Jangan lupa sering-sering mengunjungi kami, yah!" dapat kudengar ucapan ibu mertuaku ketika membalas lambaian kami. Azka mengklakson lagi sekali dan mulai melajukan mobilnya.
Setelah mobil turun ke jalan raya, tangisku pecah tanpa bisa dicegah. Aku merasa sangat sedih dan kehilangan karena tadi Azka melepas genggamannya. Sangat konyol memang. Tetapi yang mengherankan, air mata ini terurai tanpa bisa dibendung.
Azka menatapku panik. Aku menyeka air mataku dengan kedua tanganku sambil sesenggukan. Seperti ada sisi hatiku yang hilang dan itu menciptakan dorongan alamiah untuk menangis. aku menunduk semakin dalam menyembunyikan wajahku. Aku sangat malu sekarang!
"Reen, kamu kenapa, sayang?"
Aku merasakan Azka menepikan mobilnya. Aku masih urung mengangkat wajahku. Rasanya aku sedih sekali. Sesuatu menyibak rambutku dengan lembut. Tangan Azka menyentuh pipiku dan menyeka aliran sungai yang bermuara di sudut mataku.
"Bagaimana mungkin cuaca di luar tampak cerah. Sementara matahariku sedang tertutup kabut awan dan hujan?" suara Azka yang lembut menggelitik perutku. Membangkitkan satu rasa yang asing. Aku masih terus menunduk dan menangis.
Kurasakan Azka menarik lembut kepalaku untuk rebah di dada bidangnya. Hangat, nyaman, dan.. cepat? Jantung Azka berdegub sangat cepat!
"Apa kamu dapat merasakannya, sunshine? Jantungku selalu berdegub sangat cepat ketika berada di dekatmu. Selama empat belas tahun ini begitu, dan akan selalu begitu sampai ajal menjemputku."
Tangisku mulai mereda, terganti oleh rasa nyaman. Namun napasku masih tersengal-sengal, sisa tangis tadi. Azka membelai puncak kepalaku pelan, semakin mendekatkan kepalaku ke dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
27 to 20
RomanceWhat will you do if you sleep for a long time and wake up with no memories left on your mind about the current situation? Additional problem, you later learn that you are pregnant with the kid of your ultimate biggest enemy in life. What a terrible...