BAB XI

56.9K 3.4K 22
                                    

Aku menggelung rambutku ke atas, menyisakan sejumput rambut di sisi wajahku yang tersapu make up natural. Memasang sepasang anting yang berbentuk untaian embun yang tergantung dengan rantai yang memanjang dari sepasang daun telingaku. Mengecek penampilanku sekali lagi. Sempurna. Aku tersenyum manis melihat refleksiku di cermin.

Gaun berbahan chiffon dengan warna lilac yang berpotongan A-line sepanjang mata kaki. Menyamarkan pemandangan perut buncitku. Menghias tubuhku dengan caranya yang indah, membuatku terlihat klasik sekaligus elegan.

Pintu kamarku terbuka, menampilkan sosok Azka dengan tuxedo ungu tuanya. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar begitu melihat penampilanku. Dia tampak tampan hari ini. Kami memang sepakat mengenakan warna ungu menghadiri pernikahan Dira. Mengingat dress code yang tertulis jelas di undangan. Royal purple. Entah apa yang ada di pikiran Dira sampai memilih ungu yang notabene dianggap sebagai warna janda untuk tema pernikahannya. Bukankah untuk sebagian orang, hal tersebut akan dianggap sebagai pembawa kesialan? Entahlah.

Azka menawarkan lengannya untuk kugandeng. Sedikit tidak nyaman, aku melirik ke lengannya dengan pandangan 'Haruskah?'. Azka hanya membalas dengan anggukan mantap. Perlahan, aku mengaitkan lenganku pada lengannya. Kurasakan dorongan alami untuk menumpu kepalaku di bahunya. Sangat nyaman.

Kami melangkah keluar penthouse, bersiap untuk menghadirkan wajah di pernikahan Dira. Usia kandunganku yang sudah mencapai minggu ketiga puluh agak menghambatku untuk melangkah cepat, dikarenakan kakiku yang semakin membengkak pasca memasuki trisemester ketiga. Azka dengan sabar menuntun langkah satu-satuku memasuki Mercedes putihnya. Ya, hari ini dia tidak menggunakan Lamborghini-nya. Lebih anggun dan sesuai dengan penampilanku malam ini, begitu alasannya.

Azka melajukan mobilnya ke arah Senayan. Menuju Hotel Mulia, tempat resepsi akan diadakan. Ballroom Hotel Mulia tampak dipadati ribuan orang berpakaian dengan aksen ungu dimana-mana. Ruangan megah tersebut dipenuhi oleh pilar-pilar khas kerajaan Romawi kuno dengan berbagai sulur tanaman mawar ungu yang menjuntai mengelilingi pilar. Berbagai gradasi ungu ditampilkan dalam bentuk lembaran kain yang dibentuk sedemikian rupa. Menjuntai dan berkibar dengan indah dan gemulai menghias pelaminan tempat sepasang pengantin yang tampak sangat serasi berdiri.

Dira tampak luar biasa cantik dan anggun dengan gaun pernikahan Vera Wang-nya yang bergradasi ungu. Rambutnya digulung dengan kepangan kecil a la Maiden dengan tiara kecil yang menghias puncak kepalanya dengan indah. She looks stunning.

Steve tampak luar biasa tampan dengan tuxedo putih dengan dasi ungu tua dan sapu tangan ungu yang tersampir di saku tuxedo yang ia gunakan. Vest-nya berwarna ungu dengan gradasi setingkat lebih muda dari dasinya dan jas tuxedo-nya yang berwarna putih makin melengkapi penampilan pria tampan itu di hari istimewanya.

"Congratulation, babe. Wish you a wonderful never-lasting marriage," doaku tulus sambil memeluk Dira di pelaminan.

"Of course, babe. Thanks for coming. Enjoy the party," balasnya sambil memelukku dan tersenyum lembut.

"Well, it's unbelievable, Steve. But it's the truth. Take a super good care of my bestie, or else I'll kick your ass if you ever make her cry." Aku menyipitkan mata ke arah Steve. Memandangnya dengan tatapan mengancam sambil ujung bibirku tertarik ke atas.

"I'll make her cry with joy, Reen. Thanks for your wishes." Steve memelukku friendly. Tidak ada getaran apapun seperti di awal hubungan kami lagi ketika kulit kami saling bersentuhan, berbagi pelukan. Aku bisa memastikannya. Getaran itu telah mati dan hilang. Aku tidak merasakan rasa apapun lagi selain kebahagiaan. Mungkinkah kalau selama ini aku sudah tidak mencintai Steve lagi sama sekali?

27 to 20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang