BAB XIV

58.1K 3.2K 29
                                    

"Kak Olin, Kak Nio nya udah baikan? Udah minum obat belum?" cecar Viona sesaat setelah aku membuka pintu penthouse untuknya dan Dika. Aku menggeser tubuhku untuk memberi mereka jalan untuk masuk.

"Udah, Vio. Sekarang lagi di kamar, tuh. Lagi movie marathon di kamar," jawabku dengan senyum yang dipaksakan sambil menunjuk pintu kamar dengan daguku.

"Vio mau liatin Kak Nio dulu yah, Kak." Vio langsung menghambur masuk ke kamar kami.

Dia benar-benar mengkhawatirkan Azka rupanya...

Bukankah itu yang dilakukan seseorang ketika orang yang dia cintai jatuh sakit? Mengkhawatirkannya...

Potongan pemikiran acak menyusup ke otakku, menambah berat beban pikiranku.

Tidak boleh begini, aku nggak boleh stress, ini nggak baik buat baby, batinku sambil mengelus puncak perutku yang semakin membesar pada usia kandungan delapan bulan ini.

Dika hendak berjalan menyusul Vio ke kamar, tetapi sepertinya dia menyadari ada yang salah denganku. Dia menahan langkahnya di hadapanku dan menatap lurus ke wajahku dengan tanda tanya besar di wajahnya.

"Lagi banyak beban pikiran yah, Kak? Masih nggak terima soal Kak Steve dan Kak Dira?" tanyanya memecah lamunanku.

"Ng--ngaco kamu. Ngapain ngerasa nggak terima soal hubungan mereka. Antara kakak sama Steve udah nggak ada hubungan apa-apa selain temenan. Gimana? Udah nembak Vio?" Aku mencoba mengalihkan perhatiannya.

Dika menggaruk tengkuknya yang kuyakin tidak gatal sambil tersenyum gugup.

"Belum sih, Kak. Aku belum punya keberanian."

"Oh..." lirihku pelan. Kalau Dika belum jadian sama Vio, berarti masih ada kemungkinan kalau di hati Vio masih ada sosok Azka. Apa merelakan jalan yang terbaik?

"Kak, what's wrong? I sense something burden your mind, doesn't it?" tanyanya retoris.

Aku menunduk, menatap jemariku yang saling terkait.

"I'm confused, Dik. Really confused. I have no idea what happened. Everyone is like wearing mask and playing drama of life and looks like I'm the one who's left with no script and get the protagonist role. Semuanya tampak sangat membingungkanku," ucapku pada akhirnya.

Dika tersenyum samar.

"Kak, the best way to be happy is letting go. If you can't get through the stream, just follow the flow. Don't fight against it, just try to deal with it. Your heart will never cheat on you. Ingat itu, hati Kakak nggak akan pernah berkhianat."

"Letting go..." ulangku pelan. Apa melepas Azka juga merupakan cara berbahagia seperti yang diucapkan Dika?

"Ayo masuk, Kak. Vio dan Kak Azka pasti udah nungguin kita di dalam." Dika menuntun langkahku memasuki kamar.

Dika, dia sosok yang baik, seperti adik laki-laki yang tak pernah kumiliki. Betapa beruntungnya Vio disukai oleh orang sebaik Dika. Aku baru menyadari satu hal. Jika benar, Vio menyukai Azka, yang tersakiti dalam hal ini bukan hanya aku, tapi juga Dika. Dia mencintai Vio. Apa dia juga akan melepas Vio seperti aku akan melepas Azka?

"Sunshine, kamu kok nggak bilang kalau Vio sama Dika mau kesini jengukin aku?" Suara bass Azka menyadarkanku kembali. Aku menatapnya terkejut sesaat lalu berusaha memaksakan senyum.

"Kan biar surprise," jawabku singkat.

"Kak Nio masih panas? Vio potongin buah, mau? Kebetulan Vio bawa apel hijau kesukaannya Kak Nio." Aku baru sadar, hanya Vio yang memanggil Azka dengan sebutan Nio. Dan aku juga baru sadar. Betapa cocoknya kedua nama itu jika dipadukan. Vio. Nio.

27 to 20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang