BAB IV

71.3K 3.5K 63
                                    

Kepalaku terasa berat. Samar tercium wangi mint tea yang ditangkap oleh indra penciumanku. Aku menggerak-gerakkan kelopak mataku yang terasa berat dan mulai membuka kedua mataku. Aku menangkap sosok seorang pria yang menatapku dengan pandangan cemas dan khawatir. Pria yang sama dengan yang kulihat sebelum aku pingsan. Azka.

"Sayang, gimana keadaan kamu? Apa kamu nggak papa? Kamu ngerasa sakit nggak? Apa mau aku pijitin? Kaki kamu pasti pegal. Aku udah buatin mint tea untuk kamu. Kali aja kamu masih ngerasa mual seperti di trisemester pertama kehamilan kamu," cerocos Azka panjang lebar.

Aku heran, sejak kapan dia jadi cerewet begini. Azka yang kukenal adalah sosok yang pendiam dan hanya bicara banyak ketika berhadapan denganku. Itupun hanya untuk mengusiliku saja.

"A... Aku nggak papa. Cuma sedikit pusing dan kecapekan aja." aku berusaha bangkit untuk duduk.

"Lain kali, jangan pergi ke tempat yang terlalu jauh, sayang. Bahaya untuk kamu yang sedang hamil tua begini. Untung aku tadi ada di sekitar taman itu. Kalau tidak, aku tidak berani membayangkan apa yang mungkin terjadi." Azka menggeleng pelan sambil membantuku duduk.

"Kamu ngapain ada di dekat taman? Bukannya kamu ke kantor?" tanyaku heran.

"Err... I--Itu... Ta--Tadi aku ketemu sama klien di luar. Yah, lokasinya di dekat taman kota itu. Jadi kebetulan aku liat kamu di taman dan mau menghampiri kamu. Nggak tahunya, kamu malah pingsan." Azka tampak gugup dan salah tingkah.

"Lain kali, kalau kamu mau pergi kemana-mana, hubungi aku aja. Atau bisa cari Pak Amrin di lobby apartemen ini. Dia memang udah aku tugaskan untuk antar jemput kamu kemanapun," Azka menambahkan yang hanya kujawab dengan anggukan.

"Ya udah, nih, minum dulu mint tea-nya." Azka mengangsurkan mint tea yang hangat untukku dan membantuku meminumnya.

Hangat, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Apa Azka sudah mendinginkannya dulu yah supaya bibirku tidak terbakar? Ah, aku tidak peduli.

"Sayang, kamu istirahat dulu, yah. Baby juga pasti capek udah nemenin kamu seharian ini." Azka menarik selimut menutupi tubuhku sampai sebatas dada dan mengelus pelan perutku yang buncit.

Sebenarnya aku sudah mau protes ketika dia mengelus perutku, tapi entah mengapa aku merasa sangat nyaman dengan tangannya yang ada di perutku, seakan memang di sanalah tempat yang pas untuknya. Azka lalu mengelus rambutku dan mengecup keningku cukup lama lalu menarik kepalanya dan tersenyum hangat padaku. Berat untuk mengakuinya, tapi aku merasa nyaman dengan perlakuannya.

"Aw..." aku meringis. Baby kembali menendang perutku. Tapi dapat kurasakan ada rasa bahagia dan antusias dari gerakannya ini.

"Kenapa, sunshine?" Azka menatapku khawatir.

"Bayinya seperti sedang menendangku. Ini sudah kali keduanya untuk hari ini." aku mengelus pelan perutku dengan sayang. Azka menggapai jemariku yang mengelus perutku lalu menautkannya di atas perutku dan dengan tangan yang lain mengusap perutku.

"Ini memang sudah waktunya dia menendang-nendang. Menurut buku kehamilan yang kubaca, pada trisemester ketiga seperti ini, bayi akan menendang-nendang lalu kaki kamu akan membengkak dan kamu akan sering mengalami nyeri punggung dan akan cepat kelelahan," Azka menjelaskan sambil tidak mengalihkan perhatiannya dari perutku.

"Kamu banyak tahu, yah, tentang kehamilan. Bahkan aku saja yang hamil tidak tahu menahu tentang ciri-ciri kehamilan tiap trisemesternya." aku menaikkan sebelah alisku memandangnya.

Azka mengangkat wajahnya menatap mataku. Mata hitamnya seakan menyihirku.

"Tentu saja, sayang. Ini adalah anak yang telah kita nanti-nanti kehadirannya selama lima tahun. Kita sudah banyak mempersiapkan hal-hal tentang kebutuhan kamu saat hamil dan pasca melahirkan. Yah, sayangnya kamu nggak ingat apapun," lirih Azka dengan nada kecewa yang kental di ujung suaranya. Entah mengapa aku merasa sangat bersalah. Akupun menundukkan kepalaku dalam

27 to 20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang