BAB VI

55.4K 3.3K 20
                                    

"Di, aku nggak sanggup lagi nih. Hoekk... Kayanya baby nggak doyan, deh, makanan ini." aku membuat gerakan menahan mual sembari menatap Dira yang tengah menatapku dengan mata membulat.

"La--Lalu, semua makanan ini gimana?" Dira menghentikan kunyahannya.

"Kamu bisa tolong habisin? Mubazir kan kalo dibuang-buang. Aku beneran nggak tahan sama rasanya. Baby nolak, nih." aku menutup mulutku menahan seringai di bibirku.

"Tapi pasti nggak bakalan habis, Reen." Dira menatap dengan lesu makanan yang tersaji.

"Kalau nggak habis kamu bawa pulang aja, Di," saranku.

"Ya udah, deh." Dira menghela napas pasrah dan mulai memakan kembali makanannya.

Gotcha, Dira!

Tiba-tiba smartphone-ku berbunyi dan menampilkan nama Azka My Hubby di caller ID.

Oh, ingatkan aku untuk mengganti nama kontaknya nanti.

"Halo," sapaku datar.

"Sunshine, where are you?"

"Hanging around with Dira. Whassup?"

"Oh, glad to hear it. Mamaku ngajakin kita dinner malam ini, kamu bisa, kan?"

"Err... Mama kamu tau, kan, kalo aku amnesia?" aku memastikan supaya nantinya aku tidak kelabakan saat bertemu dengan 'mama mertua'ku.

"Yes, sunshine. Aku udah kasih tahu Mama. I'll pick you up at 7 from our home."

"Penthouse kamu, you mean?" dengusku sebal. Bagaimana mungkin sebuah penthouse khusus disebut rumah? It's absolutely not home.

"Haha" Azka tertawa renyah di ujung sambungan telepon.

"Our, honey. Not only mine. I'll pick you up at home. Be ready."

"Ya," jawabku malas lalu memutus sambungan telepon.

"Kenapa, Reen?" Dira mengalihkan perhatiannya padaku.

"Azka, dia bilang mau jemput aku jam 7 nanti buat dinner sama Mama Papanya," aku membalas dengan acuh tak acuh.

"How sweet. That guy really loves you, you know. Dia bahkan lebih mementingkan keselamatanmu dibanding kepentingannya sendiri. Kamu ingat waktu kamu terkena lemparan bola basket itu?" Dira menggantung kalimatnya.

Aku mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Azka saat itu sedang berlatih basket di lapangan yang lain untuk dinominasikan sebagai pemain inti. Begitu melihat kamu terkena lemparan basket, dia langsung menghambur keluar lapangan dan menggendongmu ke unit kesehatan. Yah, akhirnya dia didiskualifikasi. Padahal kamu tahu sendiri, kan, basket itu adalah salah satu kebanggaannya dulu." Dira melipat kedua tangannya menumpu ke meja.

Aku menyimak sambil tercengang. Benarkah Azka berbuat seperti itu? Aku sangat mengenal Azka. Dulu, basket untuknya seperti sebuah sisi dirinya yang lain yang tidak dapat dipisahkan. Semasa SMA, dia banyak meraih berbagai penghargaan dalam bidang basket. Ketika semester awal kuliah juga dia berlatih sangat keras agar terpilih sebagai anggota inti.

"La--Lalu kenapa dia tidak bermain basket lagi?" lidahku terasa kelu untuk berucap.

"Dulu, aku pernah menanyakannya. Dia hanya tersenyum simpul dan menjawab, 'Ada hal yang lebih penting daripada basket yang harus ia jaga'. Dan tanpa bertanya lebih jauhpun, aku tahu kalau yang ia maksud itu kamu. Karena kalau dia terpilih sebagai pemain inti, artinya dia harus menjalani pelatihan intensif di luar kota, dan dia nggak bakalan bisa ketemu kamu untuk beberapa saat." Dira tersenyum lembut.

27 to 20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang