"Reen, ayo ikut Mama berkeliling sebentar." Mama mertuaku, ah, sebut saja begitu, alias Mama Azka menarik lembut lenganku dan menuntun langkahku ke ruang keluarga sesaat setelah kami menyelesaikan dinner. Aku melirik Azka yang tersenyum kecil dan mengangguk. Sedikit ragu, akupun pada akhirnya mengikuti langkah Mama mertuaku.
Ia mempersilahkanku duduk di sebuah sofa besar berwarna cokelat pasir di ruang keluarga lalu beranjak ke sebuah cabinet di sudut ruang dan tampak mencari-cari sesuatu.
"Ini dia." Mama mertuaku menyerahkan sebuah scrapbook yang lebih mirip album foto. "Bukalah," ucapnya sambil tersenyum.
Aku menurutinya dan mulai membuka halaman pertama album tersebut. Tampak foto sesosok bayi laki-laki mungil yang melongo ke kamera dengan tatapannya yang imut.
"Itu foto Azka waktu umur satu tahun. Lucu, kan? Dulu waktu kalian baru berpacaran, di kunjungan pertamamu ke sini, Mama juga pernah menunjukkan ini ke kamu."
Aku menatap saksama seraut wajah tampan nan menggemaskan di hadapanku. Bayi mungil yang manis dengan mataa hitamnya yang bulat menatap penuh keingintahuan dan rambut cokelatnya yang menambah pesona si bayi mungil. Baby dalam perutku seperti bergolak senang melihat foto yang kupegang. Dia menendang dengan keras.
"Aw..." ringisku pelan. Aku mengusap perutku. Mama mertuaku tampak khawatir lalu ikut mengusap perutku.
"Bayinya nendang yah, Reen?" aku mengangguk. "Dia seperti ayahnya, yah. Dulu waktu Mama hamil Azka juga anaknya hiperaktif banget. Nendang terus di perut, bikin ribet. Tapi begitu udah keluar, rasanya penderitaan pas hamil setimpal banget." Mama mertuaku mengusap perutku lembut.
"Maaf yah, Reen. Pas kamu kecelakaan Mama Papa ada di Perth, jadi nggak bisa ngunjungin kamu." Mama mertuaku menyibak rambutku dan mengaitkannya ke belakang telinga.
"Nggak papa, Ma." jujur, rasa haru dan rindu menyesakkan dadaku. Suaraku terdengar parau. Aku merasakan rindu yang membuncah mendapat perlakuan lembut dari Mama Azka.
Aku kembali membuka album foto Azka. Tampak wajah Azka ketika SD lengkap dengan seragam basket.
"Azka tuh dari kecil udah suka banget sama basket. Makanya badannya menjulang gitu. Tapi nggak tahu kenapa pas kuliah dia berhenyi main basket dan milih buat fokus kuliah dan lanjutin usaha Papanya gitu, Reen. Padahal dia udah hampir kepilih jadi pemain inti, loh, di grup basket universitas kalian." Mama mertuaku menatap foto di hadapanku dengan tatapan mengenang.
Aku mengangguk terdiam. Apa mungkin yang Dira katakan itu benar? Aku menatap foto di depanku dengan pandangan kosong.
Mama mertuaku membuka lembar berikutnya.
"Ini foto Azka waktu masuk SMP. Waktu itu dia pertama kali ketemu sama kamu. Mama masih ingat bagaimana bahagianya senyum yang dia tunjukkan waktu pulang ke rumah di hari pertamanya masuk SMP. Juga bagaimana bersemangatnya dia ketika bercerita tentangmu pada Mama," Mama mertuaku menjelaskan panjang lebar.
Aku menatap foto di depanku dengan perasaan bercampur aduk. Antara kesal dan juga rasa rindu yang tidak dapat dijelaskan.
"Yang ini pas SMA. Mama ingat satu kejadian lucu pas kalian SMA. Azka pernah ngerusakin prakarya miniatur taman kamu, kan, terus kamu marah sama dia dan melempar prakarya yang dia rusak tepat di wajahnya," Mama mertuaku terkekeh pelan. Aku meringis malu dan mengangguk mengiyakan.
"Coba kamu liat di rak kaca teratas di lemari kaca itu." Mama mertuaku menunjuk salah satu rak di lemari kaca di ruang keluarga. Pandanganku mengikuti arah tunjuknya. Sebuah miniatur taman persis seperti prakarya yang kubuat dengan beberapa tambalan -yang dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan yang tercipta- tergeletak dengan manis di rak kaca tersebut dengan didasari selembar taplak warna emas bermotif baroque.
KAMU SEDANG MEMBACA
27 to 20
RomanceWhat will you do if you sleep for a long time and wake up with no memories left on your mind about the current situation? Additional problem, you later learn that you are pregnant with the kid of your ultimate biggest enemy in life. What a terrible...