BAB XIII

58.1K 3.1K 21
                                    

Pikiranku kosong, melayang ke buku bersampul pink di genggamanku. Kata-kata yang tertulis rapi di permukaannya masih sangat jelas berkelebat di otakku.

Dear diary,

Melihatnya membuat jantungku berdebar lebih cepat. Melihat sikap lembutnya yang seperti seorang pangeran berkuda putih. Dia tampak sangat sempurna. Kurasa, aku sudah jatuh cinta padanya. Sayang, dia bukan milikku, dia milik kakakku. Tapi, tidak ada salahnya berharap, kan?

I just wanna say, I love you, Kak Nio.

Much love,

Viona Annabelle

Semua untaian kata itu seperti mengirimkan hujaman yang keras di hatiku. Menohokku dengan sangat keras. Memberhentikan kerja saraf-sarafku untuk sesaat. Satu kesimpulan yang mengambang di otakku.

Viona mencintai Azka. Dan aku, Maureen, telah merebut pujaan hati adikku.

Kenapa semua ini terjadi sekarang?

Kenapa justru ketika aku sudah mulai membuka hati dan memutuskan untuk mengikuti aliran alur cerita yang berlangsung, kenyataan pahit ini terkuak?

Apa ini hukuman untukku karena telah lancang mencoba menggagalkan pernikahan sahabatku?

Tapi tidak mungkin. Ini sudah terjadi jauh sebelum itu.

Bagaimana ini?

Viona itu adik yang paling kusayangi. Dia adalah sahabat terdekatku dan orang yang paling kusayang setelah kedua orangtua kami.

Mengetahui selama ini dia menyukai Azka dan menekan perasaannya demiku benar-benar membuatku merasa serba salah.

Apa aku harus merelakan Azka untuk Viona?

Lalu, bagaimana dengan bayi kami?

Dan, bagaimana dengan pernikahan ini?

Apa aku harus... bercerai... untuk merelakan Vio berbahagia?

Aku sangat pusing memikirkan semua ini!

Di tengah kegamanganku, kurasakan sepasang lengan kekar melingkari perut buncitku. Azka, sumber keresahanku.

"Kenapa matahariku mendung?" Lengannya mengusap lembut perutku.

Aku menepis pelukannya dan berusaha tersenyum padanya.

"Nggak papa. Kamu nggak ngantor?" tanyaku mengalihkan perhatian.

Azka hanya menggeleng dan tersenyum, menampakkan kerut senyum halus di sudut matanya.

"Sebagai boss, aku nggak perlu sering-sering ke kantor. Biar pegawaiku yang mengerjakan semuanya. Begitulah cara para pengusaha sukses bekerja. Kami tidak melibatkan diri terlalu banyak dalam pekerjaan kami, tapi kami mempekerjakan orang-orang yang berkapasitas untuk mengurusi usaha kami. Dan tugas kami, hanya memantau dan melihat aliran uang masuk tiap bulan ke rekening kami," jelas Azka sambil mengelus pipiku yang semakin chubby seiring bertambahnya usia kehamilanku.

"Pekerjaan yang santa," ujarku sarkastik. Bagaimana tidak? Jika aku menempatkan diri sebagai pegawainya, aku pasti kesal menyadari kenyataan yang dibeberkan atasanku ini. Seenaknya membebankan semua tugas pada bawahannya sementara dia bersantai menikmati hidup.

"Tidak juga. Kami menggunakan otak kami untuk mengendalikan segalanya. Memikirkan segala saluran yang memungkinkan perluasan bisnis kami, juga memantau tindak kecurangan oleh pegawai kami. Semuanya tidak semudah kelihatannya. Kecuali kalau kamu punya kaki tangan yang benar-benar bisa dijamin kinerjanya," koreksi Azka sambil tangannya beralih mengelus puncak perutku.

27 to 20Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang