Care 18

670 82 80
                                    

=============================!==!================================

"Ini apa?" ada sesuatu yang menyentuh lehernya, Yuri mengikuti sesuatu yang memberi kehangatan itu.

"Udara di luar sangat dingin. Jadi kamu harus pakai syal, supaya tidak sakit." Tiffany memastikan syal di leher Yuri terpasang sempurna. Selanjutnya ia kembali membuat Yuri merasakan benda yang menutupi kepalanya.

"Ini apalagi?" Yuri meraba-raba kepalanya secara meneyeluruh.

Tiffany bersedekap begitu kupluk yang dia kenakan sudah menempel di kapala Yuri. Kalau di hitung sudah satu minggu Yuri tinggal serumah dengannya. Dokter sudah mengizinkan Yuri pulang karena kondisinya yang semakin membaik. Walau gara-gara minggu lalu dia sempat di buat mati berdiri oleh Yuri karena saking takutnya pria itu melompat dari lantai dua puluh. Namun kali ini dia sangat bersyukur Yuri sudah bisa menerima keadaannya.

"Itu kupluk, biar kepala kamu tetap hangat."

"Terima kasih." Yuri menurunkan tangan dari atas kepala dan kembali memegangi tongkatnya. Dia tidak tahu kalau di sampingnya Tiffany mengangguk dan mengamatinya dalam diam.

"Apa selama ini aku menyusahkanmu?"

"Iya! Aku hampir saja kehabisan airmata karena menangisimu." Tiffany menyadari Yuri semakin mempererat pegangan pada tongkatnya.

Yuri menunduk, memainkan kakinya di tanah. Dia tidak bisa mendeskripsikan tempat Tiffany membawanya saat ini. Mungkin ini pertama kalinya ia duduk berdampingan dengan Tiffany di tempat ini.

"Maaf!" hanya itu yang bisa ia kaluarkan dari bibirnya. Dari awal sebenarnya Yuri sudah merasa tidak nyaman, kerena kemana-mana harus di temani Tiffany.

"Aku tidak butuh maafmu, aku hanya punya satu permintaan buat kamu."

"Apa itu?"

"Jangan selalu berpikiran bahwa kamu satu-satunya orang di dunia ini yang mengalami kebutaan. Di luar sana masih banyak yang lebih parah dari kamu, Yul." Tiffany mengelusi punggung Yuri.

Sementara Yuri tidak bisa menjawab, karena perkataan Tiffany bertolak belakang dengan isi pikirannya. Dia merasa keberadaannya yang sekarang hanya bisa menyusahkan banyak orang. Coba saja dia tidak buta, mungkin Yuri tidak mau menyusahkan Tiffany sampai sejauh ini.

"Fany, aku pikir ucapanmu tempo hari itu ada benarnya juga." Yuri berusaha mengalihkan pembicaraan. Tiffany mengernyitkan dahi mengingat-ngingat ucapan mana yang bisa membuat Yuri berkata benar.

"Yang mana?"

"Tentang ucapanmu kalau aku seharusnya melupakan Jessie, dan membuka lembaran baru. Aku pikir-pikir lagi aku sudah menyetujui saranmu itu. Mengingat Jessie sudah hamil anak orang jadi aku harus mundur untuk mengharapkan dia lagi."

Tiffany menghela napas, dia meluruskan pandangan ke hamparan hijau di depannya. Mengamati satu persatu orang yang juga menikmati matahari tenggelam yang mulai terlihat.

"Kalau nanti aku membawa Jessie ke hadapanmu, apa kamu masih bisa melupakannya?" Tiffany memiringkan kepala dan memangku dagu dengan tangan kanan.

Cukup lama Yuri diam, membuat Tiffany yakin pria di depannya ini tentu sangat sulit melupakan seorang Jessica.

"Mungkin aku akan sangat membencinya."

"Alasannya?"

"Karena selama ini hanya kamu yang selalu ada di sampingku, dia tidak pernah datang di saat aku mengalami keterpurukan, di saat aku sudah berjuag untuknya, dan.."

ROBOT? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang