Satu tahun kemudian
Yuri menyeruput kopi yang baru saja di sajikan oleh pelayan kafe itu. Setelah menyesapnya dia baru menatap wanita yang kini duduk dihadapannya sambil menatap luar jendela. Rambut panjang yang dikuncir, kaca bening yang membingkai matanya, dan jas putih membaluti tubuh wanita itu begitu cocok untuk penampilannya hari ini, tatapannya masih saja tak mau menoleh kearahnya seolah menikmati pemandangan yang ada diluar sana. Sementara disampingnya juga ada wanita lain yang tengah menunggunya berbicara untuk menghilangkan kecanggungan diantara mereka.
"Jessie, sudah lama ya kita tidak berkumpul seperti ini." Akhirnya wanita yang duduk disamping Yuri mulai membuka pembicaraan itu. Sesekali tangannya mengepal dan gemetar, dia juga melemparkan senyum hangat sampai matanya tertutup dan melengkung seperti bulan sabit.
"Bagaimana kabarmu setelah satu tahunan ini? Aku dengar kamu menggantikan posisi Ayahmu dirumah sakit, oh iya bagaimana kabar paman dan bibi?"
Tiffany tidak mendapatkan jawaban apapun dari Jessica. Wanita itu masih saja mengamati luar jendela sebelum dua detik berikutnya Jessica menoleh menatapnya.
"Apa tujuan kalian menemuiku?"
"Kit—"
"Kamu masih saja tidak pernah berubah." Yuri mulai angkat bicara, memotong ucapan Tiffany barusan.
"Katakan saja. Aku masih banyak pekerjaan yang belum selesai," Jessica melipat kedua tangannya didepan dada. Dia tidak memiliki keberanian untuk beradu tatapan dengan lelaki yang ada didepannya itu.
"Ah, aku hampir saja lupa. Selamat kamu sudah bisa melihat lagi." Lanjutnya. Kali ini Jessica mencoba menatap lelaki tersebut sebelum kemudian dia mengalihkan perhatiannya pada Tiffany.
"Terima kasih. Kedatangan kami juga untuk memberitahumu sesuatu."
"Kami akan menikah." Tiffany menimpalinya begitu cepat. Dari sini dia melihat reaksi Jessica yang memundurkan punggungnya ke sofa kafe yang ada disana. Wanita itu menyunggingkan senyum kecutnya, mungkin Jessica merasa dirinya dikhianati oleh sahabatnya sendiri atau tidak percaya bahwa dirinya se tega ini.
Kali ini tawa sumbang Jessica menggema menghilangkan kesunyian kafe pagi itu. matanya tidak sekalipun menguarkan cairan bening atau bahkan tatapan amarah. Sungguh tidak ada siapapun yang bisa membaca tatapan seorang Jessica.
"Kalau kalian mengikuti stand up komedi aku yakin kalian pasti menjadi juaranya." Jessica memegangi perutnya seakan tawanya itu membuatnya sampai sakit perut.
"Setelah satu tahun menghilang, kalian hanya datang untuk mengatakan lelucon ini?" masih terbahak-bahak, Jessica kembali berucap. "Fany sudah berapa lama kita berteman?" Jessica mengangkat jari-jarinya ibarat menghitung waktu seberapa lama mereka menjalin persahabatan.
Sedangkan Yuri masih bertahan dengan wajah datarnya, tidak sekalipun memberikan senyum hangat atau bahkan ucapan maaf. Lelaki itu mengikuti gerak gerik Jessica melewati tatapannya.
Yuri akhirnya memilih berdiri dan menarik lengan Tiffany yang sejak tadi hampir mau menangis.
"Sayang ayo kita pulang."
"TUNGGU!!" lantang dan nyaring, tawa Jessica lenyap dalam hitungan detik.
"Jadi perjuanganku selama ini sia-sia? Setelah aku mencoba menghubungimu, mencarimu apa itu tidak ada artinya lagi?"
"Jes,"
"Diam kamu Fany!! Aku tidak butuh penjelasanmu."
"JELASKAN KWON YURI!" tatapannya begitu dalam, tangannya mengepal bahkan matanya mulai memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROBOT? (End)
Fanfictionjangan mencintaiku karena aku tak pernah memiliki rasa. aku tidak memiliki jantung. aku tidak memiliki emosional seperti mereka. aku hanya mengikuti perintah dari tuanku untuk menjagamu. tolong lupa kan masalalu mu jangan terjebak pada orang yang...