Jessica sempat mundur satu langkah, merasa ragu pada dirinya sendiri. Alam bawah sadarnya selalu bertanya-tanya apakah Yuri dapat menerima kehadirannya? Apakah dia pantas bercengkrama dengan Yuri lagi? Setelah sekian banyak luka yang ia torehkan pada pria yang tengah memunggunginya saat ini.
Berkali-kali dia menoleh pada Tiffany memintanya jawaban apa yang akan ia lakukan nanti jika sudah berhadapan dengan Yuri.
Namun sekali lagi, yang dia dapat dari Tiffany hanya sebuah anggukan yang meyakinkannya untuk segera melanjutkan langkah. Dari ambang pintu, dia bisa melihat bagaimana keadaan Yuri yang sedang melihat keluar jendela, dengan sebuah tongkat yang di genggamnya erat.
Entah apa yang sedang pria itu pikirkan hingga tidak sadar bahwa ada pergerakan di tempatnya ia duduk di tepian ranjang.
Kalau saja Tiffany tadi tidak memintanya untuk tak menangis saat menemui Yuri, mungkin sekarang dia sudah histeris dan tidak terima akan kondisi Yuri yang sekarang. Melihat Yuri dari samping saja sudah membuat Jessica melanggar permintaan Tiffany. Pria itu buta, tidak bisa melihat kehadirannya lagi dan penyebabnya adalah dirinya. Meski ia berusaha untuk tak mengeluarkan suara karena airmata bodohnya jatuh tanpa perintah, Jessica tetap menguatkan diri.
Jessica menyentuh tangan Yuri secara perlahan, takut akan membuat Yuri terkejut. Tapi sayangnya, hal terebut sudah membuat Yuri terkejut karena pergerakannya yang secara tiba-tiba.
“Fany. Kamu sudah pulang.”
Ingin sekali Jessica menjawab, tapi dia tidak punya nyali untuk menyapa Yuri. Perasaan bersalah yang menguasai dirinya menghiangkan semua kata-kata yang sempat ia rangkai untuk pria di sampingnya itu.
“Aku sudah meminum obatnya. Jadi kamu tidak perlu mengambilkannya lagi.” Yuri memamerkan senyumnya, membuat Jessica semakin menjatuhkan airmata. Seakan-akan ucapannya barusan menunjukkan bahwa dirinya mampu mengambil obat tanpa bantuan Tiffany lagi.
Dan secara tidak langsung itu sudah menjelaskan pada Jessica bahwa selama ini Tiffany lah yang mengambil andil dalam merawat Yuri.
“Fany, kenapa kamu diam?” Yuri mengulurkan tangannya, mencari keberadaan Tiffany. Pria itu berhasil menangkap bahu Jessica.
“Ada apa?” tangan Yuri merangkak dari bahu, leher, dan berakhir di pipi Jessica. Mengelusnya lembut, namun dua detik setelahnya jari-jarinya berhenti. Ada sesuatu yang basah di sana. Yuri tidak tahu bahwa yang ia sentuh pipinya saat ini adalah Jessica.
“Kamu menangis? Apa kamu ada masalah?” raut wajahnya berubah khawatir, dan tanpa sadar Yuri melepas tongkatnya, membawa tangan yang lainnya untuk menghapus jejak-jejak airmata di pipi Jessica.
Dia menangkup wajahnya, membuat kepala Jessica secara otomatis mendongak dan memberinya tatapan penuh rasa bersalah.
Jessica bungkam. Tidak mengatakan bahwa itu adalah dirinya bukan Tiffany.
“Katakan Fany, apa yang membuatmu sampai menangis?”
Jessica tak kunjung menjawab. Dia masih belum menyiapkan keberanian untuk menanyakan kabar Yuri. Rasa bersalahnya semakin membesar, Jessica malu, malu karena sudah menghina Yuri dan mengusir Yuri dari rumahnya waktu itu. Bodoh! Itu yang sedari tadi ia lontarkan dalam isi kepalanya.
“Maaf.” Dari sekian banyak kalimat yang Jessica rangkai, hanya itu yang berhasil keluar dari bibirnya.
Selanjutnya dia menunggu reaski Yuri, ia tidak perduli kalaupun pria di depannya ini tidak menerima kehadirannya lagi.
Dan dugaannya benar, tangan Yuri langsung melepaskan diri dari pipi Jessica. Dia berdiri, menghindar, terkejut, tidak percaya. Suara itu begitu familier di telinga Yuri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROBOT? (End)
Fanfictionjangan mencintaiku karena aku tak pernah memiliki rasa. aku tidak memiliki jantung. aku tidak memiliki emosional seperti mereka. aku hanya mengikuti perintah dari tuanku untuk menjagamu. tolong lupa kan masalalu mu jangan terjebak pada orang yang...