Please don't go

1.9K 135 15
                                    

Wanita itu berlari menerobos orang yang menghalangi jalannya. Derap langkah yang memantul di lorong rumah sakit terdengar nyaring. Jas putih di biarkan terkibar dari terburu-burunya dia berlari. Tak perduli napasnya yang ter-engah. Pandangan aneh dari orang sekitar menatapnya penuh kesedihan dan ada pula yang tanda tanya tak tahu apa yang terjadi. Sampainya dia pada tempat yang di tuju, terlihat beberapa perawat, dokter, dan kedua orangtuanya yang berkumpul depan ruang rawat VVIP.

Dia memegangi lututnya sebelum berdiri tegak. “Katakan! Katakan sekali lagi. Kalian bercanda kan? Aku akan memecat kalian semua jika kalian menipuku.” ucapnya penuh penekanan dengan napas ter-engah. Matanya kemerahan pertanda dia sedang marah.

Mereka masih diam tak mampu untuk menjawab. Berbagai tubuh yang di baluti jas putih membisu di depan ruang rawat di mana dia berada sekarang.

Salah satu perawat yang ada di sana dia tarik kerahnya. Wanita yang bergelar direktur rumah sakit yang sedang marah tersebut tak memperlihatkan sikapnya yang juga berprofesi dokter. Rambut blondenya tergerai dengan kacamata bening yang mengkhiasi wajahnya di balik mata indah kemerahan itu.

Sambil  menggeleng. Tidak!!

“Pasien atas nama Kwon Yuri meninggal pada jam 01:00 dini hari bertepatan pada hari rabu dengan penyakit yang di derita pasien yaitu Leukimia. Pemakaman akan di langsungkan pagi ini juga.”  Seorang pria setengah baya membacakan riwayat kematian di hadapan wanita berambut blonde tersebut. Meyakinkan bahwa apa yang dia tanyakan sejak tadi adalah kebenaran yang harus di terima.

Sekali lagi, wanita itu menggeleng. Tidak mungkin!!

Cengkraman pada kerah salah  satu perawat di sana mengendur. Bersamaan dengan kedipan mata yang mengeluarkan cairan bening. Beralih membekap mulutnya menahan isak. Semua orang yanag ada di dekatnya menunduk merasakan pilu.

Sebuah sentuhan tangan membuatnya menoleh. Mengangkat wajah pada sang ibu memohon bahwa yang di ucapkan dokter itu adalah sebuah ke bohongan. Luna nama ibunya menarik nafas memberi kekuatan diri walau kenyataannya dia juga tak mampu membendung airmata.

“Jessi,” ucapannya begitu lembut dengan tangan yang mengelus punggung putrinya mengupayakan elusan itu dapat menyadarkan pada kenyataan. “Ya, dia memang sudah meninggal.” Pejaman mata Luna tak mampu menahan bendungan itu. Embun yang tercipta di lensa kacamata putrinya begitu kontras.

Jessica masih menggeleng. Kekuatan tangannya yang menjuntai menimbulkan kepalan yang memutih di setiap ujung jari.

“Tidak!! Mom pasti bohong. Dia itu kuat, dia tidak akan pergi tanpa izinku terlebih dahulu.” Tangannya mengusap airmata kasar, membiarkan kacamata bening itu bersentuhan dengan lantai cukup keras. Berharap luka hati yang baru saja tergores oleh kenyataan tidak semakin menganga lebih dalam.

Dia mendorong orang-orang di depannyaa untuk menyingkir  membuktikannya sendiri. Apa yang mereka ketakan itu pasti bohong? Kekasihnya itu kuat tidak mudah menyerah seperti yang mereka bilang.

Namun, baru saja melewati ambang pintu kenyataan berkata benar. Apa yang dia lihat membuat saraf-saraf di tubuhnya melemas. Langkahnya bergetar, lututnya yang semula kuat menopang bobot tubuhnya tak lagi mampu menahannya. Hantaman keras yang menikam hatinya tak bisa ia hindari lagi.

“Ti—tidak!” suaranya hampir tak terdengar. Jessica jatuh berlutut dekat brankar. Memukul dadanya berharap sakit itu menghilang. Dan berharap apa yang ada di depannya saat ini adalah sebuah mimpi.

Dia terus menggeleng, membiarkan make up yang melapisi wajahnya luntur dengan airmata. Dokter maupun perawat memperhatikan sang direktur yang terduduk di lantai dari luar ruangan. Luna dan Nathan sang suami merengkuh bahunya menenangkan. Saling menguatkan.

ROBOT? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang