Prolog

4.3K 161 15
                                    

Butiran air dengan warna coklat dan merah mengalir melalui pelipisnya yang nampak kusam.

Dadanya bergemuruh naik-turun seolah mencoba mencari udara dingin sebanyak-banyaknya untuk meredakan paru paru yang memanas.

Tangan kakinya bergoyang gemetar seolah sudah tidak kuat lagi dipakai untuk berdiri dan terasa hampir mati rasa.

" Huh...Huh...Huh... Sial mereka tidak ada habisnya- Eh! "

A-Apa yang barusan kukatakan?

Mulutnya mengatakan sesuatu yang bahkan tidak ingin dia ucapkan. Seolah mulutnya berbicara sendiri tanpa sempat dikontrol oleh otaknya.

Apakah aku sedang berkhayal? Aku tidak ingat sedang mabuk atau bagaimana.

Lantas, apa yang kumaksud tak habis?

Pikirannya menerka akan keadaan tiada sadar yang baru ia alami, semua yang ia katakan mengalir begitu saja bahkan tanpa ia sempat pikirkan.

Lama kelamaan otaknya sendiri mulai memproses keadaan tubuh dan pemandangan di sekitarnya bertepatan dengan rasa nyeri yang juga mulai menghantamnya.

Semakin berat dan berat. Ia belum pernah merasakan rasa sakit ini, bahkan ketika dia menjalani hari hari seperti di neraka sekalipun saat mengikuti pendidikan prajurit kekaisaran.

Di tengah kebingungan, dia kembali dibuat tercengang akan apa yang ia lihat di depan matanya.

" Eh, bukankah itu mayat?! "

Ratusan, bukan bahkan ribuan, dia melihat banyak sekali mayat bergelimpangan saling tumpuk menimbulkan sungai darah di bawah mereka.

Keadaan mereka begitu mengerikan dengan berbagai variasi luka fatal yang menimpa mereka, ada yang kehilangan kepala, ada yang kehilangan lengan, kaki, dan berbagai organ tubuh berserakan, tertancap pedang, tombak dan panah meskipun mereka nampaknya mengenakan sejenis pakaian tempur dari besi.

Seolah semua inderanya juga satu persatu kembali hidup, kini dia mulai mencium bau anyir dari darah dan organ tubuh yang begitu menyengat.

Tapi bukan hanya indera penglihatan dan penciuman yang telah kembali, bahkan indera perabanya juga tidak mau kalah, kini dia merasakan benda keras tengah berada di genggaman tangannya yang perih nampak bergetar letih. Tapi jari jari itu begitu keras menggengam benda itu, seolah cengkraman itu dapat menghancurkan bahkan berlian sekalipun.

Pedang?

Sebuah pedang berlumuran darah berada dalam gengaman tangan kanannya.

Pedang itu tampak sangat rusak bahkan kemungkinan bisa patah kapan saja.

Kenapa aku memegang pedang?

" A-Apakah aku yang membunuh mereka? "

Tentu Logika mulai mengalir dikepalanya seiring berjalannya waktu. Meskipun dia tidak memiliki perasaan khusus, tapi logikanya begitu mempertanyakan apakah dia pelaku dari segala tindak kekerasan ini?

" T-Tidak-tidak. Ini tidak mungkin! "

Mengabaikan logika akan hal yang tidak masuk akal ini, sudut matanya memandang sebuah pergerakan tidak jauh di depan matanya.

Mata mereka bertatapan sekilas, dengan mata dari pihak lawan itu nampak begitu bergetar ketakutan melihat ke arahnya.

Yang sejurus kemudian dengan mati matian tubuh dengan luka sabetan merobek pelindung besi di punggungnya itu merangkak ke arah berbeda.

Apa-apaan ini!!! Kenapa tubuhku...

Dengan nafas yang masih memburu seolah habis lari maraton, pikiran dan tubuhnya tidak mau untuk diselaraskan.

Petualangan Mantan Tentara Di Dunia LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang