37

2.3K 232 3
                                    

Maka saat ini aku memilih berlari secepat yang kubisa. Mengabaikan suara teriakan kakak yang menyaut-nyautkan namaku karena merasa heran. Aku tentu hanya menjawab seadanya. Berkata bahwa aku harus menyelesaikan sesuatu dan tidak akan kembali, mungkin sampai esok.

Aku terus berlari. Menerjang guyuran hujan yang semakin menjauh—semakin deras dan menimpa tubuhku hingga kuyup. Bahkan kurasa satu-satunya pakaian ganti yang berada didalam tasku pun ikut basa. Lalu percuma saja aku mengepak nya.

Sore itu matahari tak pernah nampak sepanjang hari. Membuat suasana mencekam gelap, bahkan meski waktu belum berganti malam. Tadi, dikamar---dalam sebuah kebimbangan, telah kuputuskan satu hal. Aku ingin menjalani hidup berdasarkan apa yang aku inginkan. Tidak ingin menyesal dan membuang banyak waktu untuk menjalani sesuatu yang salah. Maka, disinalah aku. Berlari menuju dermaga. Mengejar kapal terakhir yang akan menyebrang.

Ya, bisikan takdir itu datang diwaktu yang semakin menyempit. Bisikan takdir itu membawaku untuk memilih menemuinya sebelum segala peyesalan itu datang. Aku tak lagi ingin menyia-nyiakan kehadiran nya. Tak ingin lagi mengesampikan bahwa nyatanya ada seseorang yang begitu berjuang demi diriku. Mencintaiku pada batas yang kadang membuatku berpikir bahwa ia telah melakukan nya melebihi batas kemampuan nya. Ya, aku sekarang yakin bahwa aku memilikki seseorang yang mencintaiku dengan tepat.

"Paman, apa perahu ini akan menyebrang?" aku bertanya pada seorang pria tua yang tengah merapihkan jaring ikan.

"Entahlah, In Ha—yya. Aku tak tahu apakah tuan Han akan menyebrangkan perahunya kalau hujan begini." jawab pria tua yang biasa kupanggil dengan sebutan paman Seok.

"Lalu perahu mana lagi yang akan menyebrang, paman?"

"Milik tuan Han adalah yang terakhir. Tidak akan ada perahu yang menyebrang lagi selepas petang." Ujar paman Seok, yang tentu saja membuatku sedikit risau, "memang kau mau pergi kemana ditengah hujan seperti ini?"

"Aku harus pergi ke Seoul, paman." Jawabku cepat.

"Ah ke Seoul, ya? Kalau begitu tunggulah disini! Aku kan coba bertanya pada tuan Han, apakah ia akan menyebrang atau tidak. Tuan Han sedang berada di kedai Mie sebelah sana." Tunjuk paman Seok pada sebuah kedai makan yang terletak tak jauh dari tempatku berada.

"Iya paman. Tolong ya, paman." Pintaku penuh harap.

Kulihat paman Seok mulai berjalan menjauhiku. Menyeret jaring ikan yang tampak berat untuk diempan seorang pria tua seusianya. Membuatku hampir membantunya kalau saja seorang pria muda yang kukenal sebagai anaknya tidak datang dan mengambil alih jaring ikan itu dari paman Seok.

"Noona, apa yang kau lakukan ditengah hujan?" teriak laki-laki muda bernama Seok Hwan itu.

"Tidak ada. Cepat bantu paman bawakan jaringnya." Balasku dengan suara yang nyaris berteriak. Seok Hwan hanya mengangguk dengan satu kedipan dimatanya. Anak itu memang senang sekali menggoda orang lain.

Beberapa menit aku menunggu kedatangan paman Seok yang tak kunjung kulihat kehadiran nya. Berkali-kali melirik kearah jam di tangan yang telah menunjukan waktu lebih dari pukul enam. Sesekali kulihat kearah kedai makan yang tadi dimasuki paman Seok. Sampai akhirnya mataku membulat saat mendapati dua pria tua yang nyaris seusia keluar dari dalam kedai dan berjalan ke arahku.

"Kau mau menyebrang, In Ha—yya?" tanya paman Han saat telah berada dihadapanku.

Aku mengangguk cepat, "iya, paman. Aku harus mengejar kereta terakhir ke Seoul pukul delapan."

Kulihat paman Han mengangguk. Mengeratkan mantel hujan yang membalut tubuhnya, untuk kemudian naik keatas perahu mesin miliknya—

"kalau begitu ayo naik, paman antarkan kau keseberang."

Miracle Of Jealousy  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang