37. Sunrise

639 97 9
                                    

Barang-barangku di apartemen sudah aku bereskan. Aku berencana kembali ke kampung halamanku, Korea Selatan.

Hah, padahal aku belum sempat berjalan-jalan di negara ini.

Aku duduk di kursi tunggal yang sengaja aku taruh di balkon untukku membaca buku sebentar. Menikmati hawa dingin untuk menyiapkan diri pada hawa panas yang sebentar lagi terjadi.

Ponselku berdering dan membuatku tersenyum senang, itu Eunha.

"Yak! Cici!" Teriaknya dari balik ponsel.

"Biasa bisa tidak sih? Tidak usah pakai teriak," kekehku.

"Kau baik-baik saja?" Tanyanya.

Aku mengangguk lantas menjawab saat sadar bahwa aku sedang menelpon. "Sangat baik, aku liburan di Jerman saat ini. Kau pasti iri."

"Bohong, mana ada wanita yang senang dibalik kesakitan pasangannya," ucap Eunha yang membuatku terdiam.

"Kau tidak menolong Baekhyun, Ci?" Tanyanya.

"Jika aku jadi kamu aku pasti akan menolongnya. Cia, dia itu baik, sungguh. Aku justru iri saat melihatnya yang memperhatikanmu diam-diam, dia tampan, tubuhnya bagus, seorang pengusaha, mampu menghafal banyak bahasa, jago beladiri dan basket, mantan anak OSIS, mantan degem dimana-mana. Dia banyak bertanya padaku tentangmu, apa yang kau sukai, yang tidak kau sukai, ia bertanya padaku bagaimana cara menghiburmu dan melindungimu. Kau tidak merasa? Oke oke, aku tahu kau tak pernah peka. Tapi bisa tidak sebodoh ini juga."

Aku berniat mendengarnya saja tapi entah mengapa air mataku keluar begitu deras hingga aku sesegukan.

"Kau menangis, Ci?" Tanyanya.

"Aku tidak apa, tenang saja," jawabku mengelak.

"Aku beri waktu untukmu menangis sepuasnya. Maaf, tapi kamu harus sadar. Banyak wanita menginginkan pria seperti itu. Dia baik," ucap Eunha.

Panggilan terputus sementara aku menangis sesegukan mengingatnya.

Sound on, Younha - Waiting

"Kau menangis kan? Setidaknya tenangkan dirimu dahulu," ucap Baekhyun. Ekspresi dan suaranya melembut.

"Dasar childish. Apa kau perengek?" Ledek Baekhyun yang tentu saja tidak ku perdulikan.

"Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah padaku. Jadilah lebih baik," ucap Baekhyun lembut.

"Jangan bertengkar dengan orang lain, jangan mudah terpengaruh, dan seharusnya kamu mampu menghargai orang lain," ucap Baekhyun kemudian.

"Aku akan fokus pada subjek ujian saja! Semangat!" Ucapku berkobar sembari tetap setia memandangi buku.
Aku tidak yakin, tapi sekilas aku melihat Baekhyun tersenyum menatapku lalu meninggalkanku yang lebih memilih berkutat pada bukuku.

"Doa, terima kasih sudah mendoakanku. Aku tahu kau selalu mendoakanku setiap hari dan berharap semuanya baik-baik saja. Aku tahu kau bercerita pada Tuhan. Hadiah darimu adalah doamu untukku setiap hari," Baekhyun mengulas senyum seusai mengatakan itu.

"Semoga gadis cengeng di sampingku ini cepat menjadi dewasa dan cantik, hilangkan sifat pemarahnya, berikan ia kesabaran dan kecerdasan, panjangkan umurnya, berikan aku waktu untuk dapat melihatnya lebih lama lagi," doa Baekhyun membuatku tersinggung.

Aku membuka gorden jendela pesawat. Menikmati pemandangan di sana. Putih dan biru mendominasi indera penglihatanku. Aku tersenyum tenang lalu menoleh ke samping kiriku.
Dia tertidur dengan nyamannya. Bibirnya mengatup, tampak sepulas bayi tidur setelah merengek. Polos, dia jadi terlihat menyenangkan jika begini. Harusnya begitu, karena jika Byun Baekhyun tersadar aku jadi teringat keinginanku untuk menojos mulutnya dengan cabai. Hei, sudah berapa tahun namun aku masih ingat keinginan nistaku ini. Aku tersenyum sendiri mengingatnya.

Dengan cekatan aku menarik pergelangan tangannya. Ia meringis.
"Kenapa bisa terluka?" Omelku pelan saat mendengar ringisan Baekhyun dan melihat darah mengalir dari jari telunjuknya.

Tanpa izin dariku sekali lagi ia menarik kakiku lalu mengoleskan krim tersebut. Rasanya nyaman hingga detik berikutnya ia menarik telapak kakiku keras.
"Yak! Jangan ditarik pabo!" Teriakku pada Baekhyun.
Intinya selama Baekhyun mencoba mengobatiku, aku malah sibuk mengomel kesakitan.
"Kenapa kau berisik sekali?!" Baekhyun terusik.

Setelah membaringkannya di ranjang, ia menutup tubuh Cia menggunakan selimut hingga selehernya.
"Beratmu berapa? Kau ringan sekali. Kukira kau jauh lebih berat daripada Suzy," ucap Baekhyun pelan yang tak mungkin dijawab Cia yang sedang tertidur pulas.
"Heh, menyebalkan! Kau baru tampak manis saat tertidur seperti ini," Baekhyun memandang Cia lekat tanpa mau menghilangkan senyumnya.

Malam ini setelah pemakaman Yeri, aku membiarkan Baekhyun tidur ditemani mata bengkaknya setelah menangis tanpa henti. Aku meletakkan secangkir coklat panas di nakas di sampingnya agar bisa ia minum saat terbangun pagi harinya. Aku menyampirkan selimut tebal ke tubuhnya karena suhu mulai mendingin menjelang semakin malam lantas menemani tidurnya di sampingnya.

"Baekhyun, tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja! Kumohon bertahanlah! Kumohon tetaplah hidup, Byun Baekhyun!"

"Duduk sini saja, aku merindukanmu," ucapku sembari menepuk tempat kosong di sebelahku.

Aku mencoba menghentikan tangisanku. Aku teringat penyadap yang diberikan Mr. Smith kepadaku.

Kali ini harus berhasil, karena aku ingin minta maaf padanya. Bukan hanya meminta maaf, berikan aku waktu untuk memulai semua bersamanya kembali dengan jalan yang mulus.

Baek, kau pasti menunggu kan? Aku juga akan menunggu sekaligus berusaha. Aku percaya kita tak akan terpisah seperti ini begitu saja.

~~

Pesawat mulai lepas landas kembali. Aku harus yakin, aku harus yakin bahwa kita bisa.

Menatap gumpalan awan itu, mataku justru berubah sendu.

The Case (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang