27. Because I Love You

1K 117 4
                                    

Mataku memanas saat melihat Baekhyun dengan mudahnya mengulurkan badannya untuk Suzy. Aku segera pergi dari tempat tersebut  demi menghalau pikiran negatif yang bersarang di otakku.

Tidak apa, memang Suzy butuh ketenangan. Aku berulang kali memantapkan begitu pada hatiku. Sial, aku bahkan merasa iri pada Suzy entah untuk apa. Apakah semua pasangan suami istri memiliki naluri terikat seperti ini? Kalau begitu mengapa Baekhyun tidak?

Aku segera menaiki mobilku. Baekhyun, dia membawa mobil sendiri. Lucunya, mengapa suami istri harus menaiki mobil masing-masing saat mereka sendiri bisa memutuskan menaiki mobil bersama?

Aku mengarahkan mobilku menuju sebuah kawasan elit. Mengunjungi sebuah rumah mewah milik Menteri Kwon yang mengurusi penyanggupan kerjasama Byun Grup dan pemerintah. Aku memutuskan pergi ke rumahnya untuk meminta waktu bertemu membahas kasus ini karena beliau berulang kali menolak panggilan teleponku.

Badanku tegak menghadap pintu kayu ukir dengan pahatan ukiran kusen yang penuh estetika. Aku menekan bel rumahnya setelah diantarkan satpam hingga pintu.

Tidak ada jawaban.

Aku pun merogoh benda pipih hasil cipta era industri neo-teknologi milik negaraku. Nada memanggil berubah menjadi nada sambung membuat mukaku seketika cerah.

"Nona Jung, maaf saya ada rapat di gedung DPR. Bagaimana jika besok pagi di kafe Upnormal?"

Jawabanku 'iya', aku tak sengaja mengatakannya tanpa berpikir. Aku letih saat target menyusahkan pekerjaanku.

Telepon genggamku berpisah dengan daun telinga setelah tanda terputus berbunyi.

"Menteri Kwon, kaukah salah satu tikusnya?" Batinku curiga.

Menghalau pikiran burukku, aku kembali ke mobil. Sebelum menyalakan kendaraan besi tersebut aku meminum air yang kubawa hingga tandas. Kupikir aku butuh konsentrasi, aku tahu jika aku kekurangan minum.

Aku pun menjalankan mobilku kembali ke rumah. Setelah memarkirkannya dan melepas seatbeltku, mataku menatap ke depan. Visual Baekhyun yang menunggu di depan pintu membuat wajahku pias. Ia tersenyum lembut padaku, namun kejadian tadi pagi masih menghantuiku.
Segera aku membuka pintu mobil dan menuju gerbang rumah, berniat pergi dari rumah. Aku tahu Baekhyun panik hingga derap langkahnya mengusikku. Dengan tergesa aku membuka kunci pagar besar rumah ini hingga menimbulkan suara nyaring gesekan besi.

"Ah!" Teriakku saat Baekhyun berhasil meraih tanganku. Tentu saja aku kaget.

Mataku melotot sedangkan nafasku tercekat. Apalagi saat melihat muka panik Baekhyun. Ditambah iris teduhnya yang menyiratkan kekhawatiran.

"Kamu kenapa, Cia?" Tanyanya lembut namun tak dapat membohongi betapa khawatirnya ia padaku.

"Baek, kamu temani Suzy saja," ditatap seperti ini membuat mataku berkaca menahan tangis. Tak seperti sebelumnya yang mencoba mencari arah lain. Aku menunduk.

"Suzy tak apa, Su-"

"Tapi seharusnya Suzy sama oppa! Daniel sudah pergi, Baek. Dan aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Karenaku kalian berdua terpisah, ini salah," ucapku dengan nada bergetar. Air mataku tumpah sejak kalimat pertama dan Baekhyun tertegun memandangku.

"Baek, ini tak bisa dilanjutkan. Aku ingin kita berpi-" Belum selesai kalimatku, Baekhyun membungkam bibirku.

Aku ingin memberi jarak hingga Baekhyun memegang tengkukku seolah menyuruhku menghapus jarak. Aku ingin bicara, namun sekali lagi ia mampu mengalahkanku. Bibir bawahku ia lumat. Hingga detik selanjutnya aku menangis.

Ia memberi jarak padaku, mungkin sekitar lima senti. Menghapus air mataku.

"Ini sudah kewajibanku sebagai suamimu agar kau tak bertindak sejauh ini. Cia, kau tahu? Aku merasa bersalah saat kau mengomeliku, aku merasa sedih saat kau diam padaku, mengacuhkanku. Kau tahu? Rasanya aku seolah terbanting ke bawah saat kau berkata seperti itu tadi. Cia, kau definisi wanita baik yang kuat. Tapi kupikir kau tahu bahwa suami memiliki derajat yang lebih tinggi dari istrinya dimanapun itu. Namun, tidak saat aku merasa denganmu," Baekhyun memberi jeda namun aku masih senantiasa mendengarkan. Air mataku masih tumpah, bodo amat aku memang cengeng.

"Kau percaya takdir? Kukira hidupku akan menyenangkan saat bersama Suzy tapi Tuhan berkehendak agar kita bertemu di London. Dari situ, semua memori muncul kembali hingga aku memutuskan menikahimu. Kupikir itu salah satu cara agar aku tak merasa bersalah lagi. Kupikir suatu saat aku bisa memutuskan berpisah darimu. Tapi saat melihatmu, aku mengerti yang dinamakan cinta. Hingga aku meminta pada Tuhan agar ia, Alicia Jung, yang akan menemaniku untuk berada di sampingku hingga kita bertemu lagi di kehidupan selanjutnya."

Habis sudah ungkapan Baekhyun. Detik selanjutnya kita saling menatap dalam sendu hingga semenit kemudian aku memutuskan untuk bersuara.

"Kau jahat,"

Baekhyun tersinggung.

"Kau jahat, kenapa aku merindukanmu saat kau telah pergi?"

Aku maju selangkah, tanganku memukul dada bidang suamiku. Tidak sakit, hanya seolah.
Aku menangis dalam diam sembari memukulnya. Ia hanya bisa pasrah.

"Maaf," itu katanya.

"Maaf karena sudah menjadi suami yang buruk."

Kedua tangannya menggenggam tanganku untuk menghentikan aksi konyolku.
Tangisanku semakin deras saat Baekhyun memelukku, mendekapku tanpa celah.

Tanganku menggenggam kain pakaian Baekhyun sebagai balasan.

"Aku merindukanmu, Baek. Sungguh merindukanmu."

"Aku juga merindukanmu, Cia. Lebih dari rivalku saat kau masih muda dulu."

"memangnya ada yang menyukaiku?" Aku malah bertanya polos di posisi yang sama ini.

"Banyak, kau saja yang tidak peka," jawabnya.

"Kau cemburu?" Tanyaku.

"Bisa kita lanjutkan di dalam?" Ia malah bertanya balik.

Aku masih berpikir dan bersiap mengatakan 'ayo' yang masih tak berucap kala aku memekik saat Baekhyun mengangkat tubuhku.

~~

Aku berjalan di koridor Perusahaan Byun dan berhenti di salah satu pintu dengan tulisan 'CEO Room'.
Tanganku menekan sandi pada pintu yang sebelumnya pernah diberitahukan Baekhyun.

"Guten Morgen!" Sapaku dengan senyuman yang muncul ketika melihat suamiku di meja kerjanya dengan pose keren.

Ia mendongak dan menampakkan mata cerah dengan kacamata bulatnya lalu senyuman terukir di balik pahatan indah karya Tuhan yang telah menjadi takdirku saat ini.

"Guten tag yang benar," ralat Baekhyun tanpa harus menghilangkan senyumnya dan puppy eyes-nya.

"Aku kan tidak bisa Bahasa Jerman," eluhku dan Baekhyun hanya tertawa.

Aku menyodorkan bekalku untuk Baekhyun di hadapannya.

Ia terkekeh sejenak lalu berkata. "Kau romantis sekali membawakanku makan siang begini di saat aku lapar."

"Kau pikir aku hanya bisa membentak dan menangis, dimakan biar tidak sakit," ucapku.

"Kau pemaksa, tidak ada ucapan tolong," jawab Baekhyun.

"Aku meminta pada suamiku pasti diberi, kan? Lagipula aku tidak meminta barang mahal atau susah dicari," omelku. Dan dia hanya terkekeh.

Ia pun membereskan berkasnya dan menaruh laptopnya di pinggir meja. Aku pun berinisiatif menaruh bekal dengan rapi di atas meja layaknya meja makan.

Aku memerhatikan gerak-geriknya saat makan makananku dengan lahap. Tampak menggemaskan, aku tak bisa menghentikan senyumku karenanya.

Tiba-tiba suara pintu terbuka mengalihkan perhatian kami.

"Baek, kau ada tamu?"

The Case (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang