The Case (Sudah Diterbitkan)

38. The Impositor

Maaf kalau agak membingungkan tapi alurnya maju kok dan aku minta maaf kalau ejaannya buruk.

Aku menunggu koperku muncul lalu setelah warna silvernya muncul, aku segera mengambilnya.

Aku segera bergegas mengambil Lexus Silver-ku juga dan mengemudikannya ke sebuah gedung penerbitan ternama Korea Selatan.

Shinepress Media namanya.

Bergegas ke meja resepsionis aku mencari seorang reporter.

"Anda tahu ruangan Reporter Choi?" Tanyaku pada karyawan di meja tersebut.

"Oh hei Jaksa Jung!" Teriak seseorang.

Mau tidak mau aku menoleh meski belum menemukan jawaban.

Aku mengernyit karena tak mengenal orang tersebut.

"Siapa?" Tanyaku.

"Siapa? Kau tidak tahu? Padahal aku ingat waktu menolongmu mencarikan data Cho Segi. Haha!" Ucap pria pendek bermuka tua itu.

"Kau, Reporter Choi?" Tanyaku.
Maklum saja karena aku memang tak berniat mengenal siapapun di dunia politik.

Politik pemerintahan bahkan politik bisnis.

Aku hanya mengingat namanya untuk berjaga-jaga.

Dan percayalah, tidak ada satupun kontak telepon politikus bahkan pengusaha di ponselku kecuali Baekhyun, orang tuaku, ayah Baekhyun, dan sahabatku.

Ia mendekat padaku lalu berbisik. "Kau hebat sekali saat sidang kemarin."

Ia menjauhkan tubuhnya dariku lalu berkata. "Bagaimana liburanmu di Eropa, Nyonya Jung?"

"Bisa kita bicara di dalam saja?" Alihku.

Ia mengangguk lalu berjalan ke sebuah lorong membuatku otomatis mengikutinya.

Kami memasuki ruangannya lalu aku segera mendaratkan tubuhku di kursi tamu.

Kulihat ia mengunci pintunya membuatku bertanya. "Kenapa dikunci?"

"Oh, ini untuk berjaga-jaga agar tidak ketahuan," jawabnya.

"Buka saja, akan semakin mencurigakan jika dikunci," titahku.

Ia mengangguk lalu membuka kunci dan duduk di hadapanku.

"Bisa kau bantu aku?" Tanyaku dengan nada menggantung. Ia mengangguk lagi.

"Buatlah artikel palsu," ucapku.

"Apa?" Katanya.

"Artikel berisi bahwa diriku terkena kasus suap pada beberapa tanah real estate milikku," ucapku.

"Untuk apa? Kau mau bayar berapa?" Tanyanya.

Aku tersenyum tajam lalu menjawab. "Rahasia, karena kita pernah akrab bagaimana jika aku belikan sekotak Dunkin Donuts untuk karyawan disini. Atau mungkin semua karyawan disini."

"Oh deal! Tapi apakah tidak apa?" Ia bertanya lagi.

Sebenarnya aku agak sebal namun malah kubalas dengan senyuman.