4 | Kesabaran

154K 8.3K 253
                                    

Razita membuka pintu pelan, kepalanya mengintip di balik pintu, memastikan apakah Yasfi masih tidur atau sudah terbangun.

Sejak adzan subuh, dia hanya melihat Yasfi yang sholat dengan mata mengantuk, setelahnya dia tidak tahu lagi, karena harus menyiapkan sarapan untuk Ayah dan suaminya itu.

Dilihatnya lantai sudah kosong tanpa alas tidur, bantal juga sudah tersusun di atas ranjang, berarti suaminya itu sudah bangun.

Razita memberanikan diri masuk ke kamar mereka, mendengar suara air mengalir di kamar mandi, bertanda Yasfi sedang mandi.

Ia berinisiatif menyiapkan baju untuk suaminya itu. Membuka lemari, Razita menyerjitkan dahi saat dia lupa bahwa dia tidak tahu selera berpakaian Yasfi.

Akhirnya memilih baju kemeja flanel dengan celana panjang hitam, dan menyimpannya di atas ranjang.

Senyumnya terbit melihat pakaian yang dia pilih akan dipakai Yasfi.

"Ngapain lo di sini?" pekik suara dari belakang, sontak membuat tubuh Razita kaget, dia menengok mendengar suara Yasfi.

Razita hanya menunduk malu, melihat penampilan Yasfi berbalut handuk dan kaos putih polos.

"A-aku nyiapin baju kamu, terus--"

"Gue udah bilang, jangan ikut campur kehidupan gue!" Razita sampai menutup mata mendengar bentakkan Yasfi, itupun sudah Yasfi tahan suaranya agar tidak terdengar sampai bawah.

"Sudah sana keluar." Razita mengangguk, jalan menuju pintu tanpa melihat Yasfi lagi, namun dia memberhentikan diri sebelum menutup pintu. "Sarapan dulu, Fi."

Yasfi hanya menatap jengah mendengar ucapan Razita.

Matanya melirik baju yang dipilihkan Razita di atas ranjang. Kemudian dengan berat hati memakainya, namun menukar celana bahan dengan jeans, jelas bukan seleranya.

Tidak lama Yasfi duduk di meja makan, sebenernya hatinya engan untuk berbasa-basi dengan Ayah mertuanya, namun tatapannya terjatuh pada nasi goreng kecap kesukaannya.

"Yasfi..." sapa Rosyid.

Yasfi tersenyum, menarik kursi makan untuk dia duduki. "Pagi, Yah."

Rosyid mengangguk, "Sarapan dulu, ini nasi goreng buatan Razita, kamu harus coba."

"Zita sekarang double tugas, siapin nasi dipiring Ayah dan suami," kekehan Rosyid menggema, dia menepuk bahu Yasfi pelan.

Yasfi ikut tertawa, pura-pura ikut merasakan bahagia di meja makan. Dia melihat Razita patuh pada Ayahnya, menuangkan nasi ke Ayahnya dan piring Yasfi.

Mata mereka bertemu, Razita menunduk sembari menyodorkan piring. "Dimakan, Fi." Yasfi mengangguk menerima.

Rosyid sedikit tersedak mendengar sebutan keduanya yang masih menggunaan nama.

"Fi?" Keduanya saling pandang melihat Rosyid.

"Kalian kan sudah suami istri, panggil pakai nama yang beda."

Razita salah tingkah, Yasfi tertawa sumbang sembari mengusap tengkuknya. "Belum biasa, Yah."

Rosyid menggeleng tegas, menatap Razita yang duduk di samping Yasfi. "Justru itu harus dibiasakan."

Rosyid mengalih pandang pada Razita. "Zita panggil Mas ke Yasfi, istri itu harus hormati suami, walaupun kalian satu angkatan kuliah."

Tenggorokkan Yasfi tercekat mendengar ucapan Rosyid, dia menggangguk saja dari pada memperpanjang masalah.

"Sekarang coba."

Razita melirik Yasfi di sampingnya, "Iya, M-mas Yasfi."

Yasfi tersenyum lembut ke arah Razita, mengusap puncak kepalanya, "Iya, mulai sekarang kamu harus panggil saya Mas. Oke sayang?"

Senandung Rasa [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang