5 | Bentuk Perhatian

134K 8K 77
                                    

Jika ada yang mampu menggambarkan betapa hancurnya kepingan hati Razita, maka dia mungkin tidak akan sanggup melakukannya.

Kelakuan Yasfi tadi membuat tubuh Razita lemas, hatinya berdesir sakit, hingga ia memilih bungkam dari pertanyaan yang muncul dalam hati dan pikirannya.

"Zit.." Razita memalingkan wajah dari jendela mobil ke arah Ahsfira di belakang.

"Kamu ngelamun." Razita tersenyum getir, dia mengubah mimik mukanya.

Tersenyum halus, "Masa, sih?" ucapnya dibuat-buat. Razita memilih menggoda Ashfira dibanding memilih memikirkan rasa sakitnya.

"Iya, mikirin apa, sih?" Ashfira terus bertanya. 

Hingga Faqih bersuara. "Fira, sudah deh keponya," ledek Faqih. Razita tertawa pelan, Ashfira malah mendengus sebal.

"Cie Mas Faqih belain Zita terus, nih," balas Ashfira, dia memandang ke arah keduanya dengan kerlingan mata.

Faqih memilih mengusap tengkuk dan kembali menyetir, sementara Razita mencubit pelan lengan Ahsfira yang terkekeh di antara mereka.

Keduanya salah tingkah, apalagi Razita harus bisa mengendalikan diri dari tatapan Faqih.

"Astagfirullah," ucapnya dalam hati.

Bagaimanapun status Razita sekarang adalah seorang istri, bukan lagi perempuan biasa. Dia harus menjaga jarak dari yang bukan muhrim.

"Faqih, Ashfira," keduanya menengok ke arah Razita.

"Ada apa, Zit?" itu Faqih, dia membagi pandangan antara Razita dan jalan.

"Aku kayaknya turun di halte tadi pagi aja, deh." Faqih nampak menyerjitkan dahi, Ashfira bahkan sudah memajukan muka menghadap Razita.

"Kenapa?" Ashfira memandang wajah Razita, "rumahmu kan masih jauh loh."

Razita nampak bingung, dia juga tidak mungkin berbicara bahwa menunggu Yasfi. Namun, dia tidak mungkin juga pulang tanpa suaminya itu, Ayah pasti bisa curiga.

"Hem, aku mau beli sesuatu dulu," tukas Razita, dia sampai menunduk engan memandang Ashfira karena berbohong.

"Kita anter saja, Zit." Faqih meyakinkan, namun Razita sekali lagi menolak.

"Engga usah, engga apa-apa," tutur Razita meyakinkan. Keduanya saling pandang, enggan menurunkan.

Akhirnya dengan keterpaksaan dan sedikit meredakan Ashfira, Faqih menurunkan Razita di halte.

Mereka berpisah, Razita bisa melihat mobil Faqih yang melaju membelah jalan.

"Hati-hati, Zita," ucap Ashfira sebelum kembali menutup pintu mobil. Razita hanya mengangguk.

Sebenarnya tidak enak hati, karena mesti berbohong. Namun, dia juga harus mengikuti perintah Yasfi yang akan menjemputnya di sini, bukankah seorang istri memang sebaiknya mengikuti apa yang diucapkan suaminya?

"Maafin aku, teman-teman," lirih Razita.

Dia lantas duduk di kursi tunggu halte, melirik jam yang sudah sore hampir magrib. Semoga saja Yasfi belum lewat halte dan mereka bisa pulang bersama.

Sepuluh menit berlalu, keberadaan Yasfi belum nampak. Pengunjung yang lain sudah menaiki bus, bahkan tak lama suara gemuruh hujan datang. Salah Razita karena tidak meminta nomor Yasfi, hingga mereka tidak bisa saling mengabari.

"Allahuma Shoyyiban nafian," ucap Razita, hujan turun membasuh jalan.

Dia lupa membawa jaket, tapi untung saja gamis dan kerudung yang ia kenakan lumayan menutupi tubuh. Razita memilih merapatkan tubuh dengan membekap tas.

Senandung Rasa [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang