40

661 40 2
                                    

Jumat hening di dalam kelas, gadis bersurai hitam itu meletakkan kepalanya lemas di atas meja, bibirnya pucat, matanya sembab, badannya menghangat. Tidak nyaman satu kata yang mewakili keadaannya saat ini, Zea, gadis itu tidak nyaman dengan keadaannya yang seperti itu, lemas, pening, lelah dan perutnya sedikit sakit.

Sativa datang mendekat ke arah meja Zea, tepat di sampingnya terduduk Rina dengan headset yang terselip di lubang telinganya, jari-jemarinya lincah berseluncur di atas layar ponselnya.

"Rin," laki-laki itu memanggil nama Rina yang masih terfokus dengan kegiatannya, Rina tidak menggubris dan hanya menatap ke arah layar ponselnya.

"Rina," satu kata terucap lagi dari mulut Cepa, Rina mengernyitkan dahinya, terdiam sejenak kemudian melepas benda yang menutup kedua lubang telinganya.

"Apa?" tanya Rina singkat menatap ke arah laki-laki menawan di hadapannya.

"Zea kenapa?" tanya Cepa sedikit melirik ke arah gadis yang kini duduk di samping Rina, Rina menoleh ke arah Zea, mendapati Zea yang menenggelamkan wajahnya di atas permukaan meja. Di sentuhnya leher Zea, hangat, satu kata yang lewat sekilas di kepala Rina.

"Ze lo sakit?" tanya Rina mulai panik, Zea sama sekali tidak bersuara, Cepa yang melihat hal itu sontak menatap tajam ke arah Rina.

"Lo dari tadi ngapain? Temen lo sakit aja lo gak tahu, apa gak peduli?" Ucap Cepa kepada Rina, bukan marah Rina hanya metasa bersalah. Ucapan Cepa ada benarnya, sedari tadi Rina hanya terfokus pada ponselnya dan tidak memperdulikan sahabatnya itu.

Cepa melangkah ke arah Zea, mengisyaratkan Rina untuk menggeser kursinnya. "Lo pulang aja," ucap Cepa lirih dan hanya dibalas gelengan dari Zea.

"Gue anter."

"Gak usah, biar dijemput ayah," ucap Zea sedikit serak dan hampir tak terdengar.

"Kelamaan, lo mau mati di dalem kelas?"

"Kalo ngomong!" ucap Rina sarkas.

"Lo diem! Lo gak ngebantu sama sekali," Cepa kemudian menbantu Zea berdiri, tapi nihil usahanya gagal. Seolah tak ingin berpijak di permukaan lantai, tubuh Zea gontai tak bisa menyeimbangi langkahnya.

Spontan Cepa membopong tubuh Zea keluar kelas, ia benar-benar khawatir dengan keadaan Zea. Semua orang yang berpapasan dengan Cepa menatap laki-laki yang terengah-engah itu.

"Cari pinjeman mobil," ucap Cepa kepada Rina, spontan Rina berlari ke kelas lain yang menurutnya ada siswa yang membawa mobil hari ini.

Cepa benar-benar khawatir, Zea sangat lemas seperti orang tidak bernyawa. "Lo kenapa sih Ze, jangan bikin gue takut," masih dengan langkahnya menuju tempat parkir. Dari sisi lain Rina melambaikan tangan kepada Cepa, mengisyaratkan bahwa mobil yang harus ditumpangi sudah siap.

Langsung saja Cepa menuntun Zea masuk ke dalam mobil, disusul Rina di belakangnya. "Lo jagain Zea di belakang, jangan sampe palanya kejedot."

"Iya udah, bawa ke rumah sakit aja," tambah Rina, Cepa langsung masuk ke kursinya menyalakan mesin mobil dan bergegas keluar dari sekolahnya.

"Pak genting, Zea sakit! " teriak Cepa tepat saat berpapasan dengan Pak Edi di samping gerbang sekolah. Memang dalam keadaan tertentu sekolah mengizinkan siswanya keluar sekolah tanpa izin tertulis.

Tak lama ponsel yang memang sejak awal bertengger di saku seragam Zea tiba-tiba bergetar. Rina sontak menoleh dan segera meraih ponsel di saku Zea, dengan mata membulat tak percaya Rina menoleh ke arah Cepa.

"Kenapa?" Cepa bertanya lirih.

Rina seperti mengejakan satu kata u-da-han.

Cepa mengernyitkan alisnya sedikit menganalisa ucapan Rina.

"Udahan?" Cepa menebak.

"Iya, Zea jangan sampe baca, gue hapus aja ya?"

"Jangan, gak perlu ada yang ditutupin, jangan hapus pesannya, Zea harus tahu keadaannya gimana."

"Tapi dia bakal sakit banget Cep, lo tahu kan? Seberapa sayangnya Zea sama Sativa."

"Ada gue," lagi-lagi Cepa berucap santai.

"Ada lo? Maksud lo? Mau ambil kesempatan? Gak lucu Cep!"

"Udah jalannya bakal gini, mereka ada masalah dan gue sumber masalahnya, gue sadar. Kalau Sativa bisa ngelepas  Zea gitu aja, berarti bukan salah gue karena jadi orang ketiga, gue sayang sama Zea dan gue bakal perjuangin, jadi jangan salahin gue kalau nanti Zea bakal jadi milik gue."

"Terserah lo, gue gak tahu harus mihak siapa, yang ngejalanin Zea, sahabat gue, gue harap yang terbaik aja buat dia."

"Ya udah, kita bawa Zea ke rumah sakit dulu, lupain masalah Sativa yang konyol itu," ucap Cepa sembari melajukan mobil yang ditumpanginya.

follow me,
keep reading add library
vote &  builder comment
love you all💓✨

Padi & Jagung✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang