Memang benar cinta membutakan segalanya hanya untuk membahagiakan pemilik hatinya.
🛸
Cepa, lelaki yang tak habis pikir dengan sikap Sativa, kekasih dari gadis yang ia cintai. Mengapa Sativa menuntut kejelasan dari Zea yang sesungguhnya memang hanya mencintainya? Kurang apa lagi? Sativa sudah mendapatkan hati Zea, sudah sekian kali metengkuh raga empunya dan bahkan ucapan selesai walaupun bersifat sementara tentu tidak etis untuk seorang laki-laki jika hanya terlontar melalui pesan media massa.
Cepa terduduk di kursi dekat ranjang rumah sakit itu, duduk terdiam menatap gadis yang ia cintai sedang terlelap. Melihat tanpa balasan, tidak sepenuhnya menyakitkan.
"Hoe!" Seperti terbakar api di tengah balutan salju, pekikan itu membubarkan kebahagiaan Cepa yang sudah berbaris rapi sedari tadi.
"Eh idiot, bisa santai gak? Gak perlu pake teriak-teriak. Lo mau jenazah di kamar mayat pada bangun?" Cerocos Cepa.
"Ih gitu aja cerewet amat," Rina memutar bola matanya malas berlawanan arah jarum jam.
"Udah kasih kabar ke bokapnya Zea?" Cepa akhirnya buka suara.
"Udah, bentar lagi paling dateng."
"Zea sejak kapan ginjalnya bermasalah?"
"Gak tahu sih Cep, mulainya kapan."
"Lo temen macam apa sih Rin, asli gak bermutu. Temen lo sekarat aja lo gak ngerti!" Cepa mengacak-acak rambutnya asal, pikirannga kalut melihat gadis yang ia cintai terbujur lemah di atas ranjang rumah sakit.
"Iya-iya... gue tahu gue salah. Bodoh banget gue sampe gak tahu kalau Zea ada sakit, akh!"
"Assalamualaikum!"seorang laki-laki paruh baya beserta isinya memasuki kamar pasien, tempat Zea terbaring lemas.
"Om!" Rina langsung menghampiri ayah Zea dan menjabat tangannya diikuti Cepa di belakangnya.
"Kan ayah sudah bilang, jaga kesehatan. Zea memang susah dibilangin," monolog ayah Zea mengelus pangkal rambut putri kesayangannya.
"Maaf om, memangnya apa penyebab Zea punya gangguan sama ginjalnya?" tanya Cepa menyelidik.
"Zea kebanyakan makan es krim. Mungkin terdengar sepele, om sudah berulang kali mengingatkan, tapi om tahu, Zea gak pernah bisa nolak tawaran kalau sama Sativa."
"Mak-maksudnya om?" Kini Rina menambah bertanya, sejauh ini Rina belum paham betul arah pembicaraan ayah Zea.
"Zea gak mau pacarnya tahu kalau dia ada gangguan ginjal dan gak boleh makan es krim lagi, namanya anak jatuh cinta apa aja dilakuin kan, gak mau pacarnya kecewa," jelas ibunda Zea.
"Jadi Sativa gak tahu om kalau Zea ada sakit?" Cepa kembali bertanya.
"Mungkin kalian berdua teman Zea yang pertama kali tahu, jadi jagain Zea ya kalau di sekolah."
Konyol. Satu kata yang mewakili keadaan saat ini, seorang gadis yang memiliki gangguan ginjal karena terlalu banyak mengonsumsi krim dingin dan tidak mampu menolak tawaran kekasih lelakinya ketika makan bersama, padahal kini lelakinya memutuskan hubungan bahkan saat gadisnya tengah terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit, sedangkan lelaki lain lah yang kini tengah ada di sampingnya layaknya seorang kekasih, menemani seorang gadis yang tidak ia miliki hati maupun raganya.
Cepa melirik ke arah Rina, sama-sama berkutat dengan pikiran masing-masing.
"Eh, maaf om tante, saya belum ngenalin diri. Saya Cepa, temen sekelasnya Zea," ucap Sativa melempar senyum klasik ke arah orang tua gadis yang ia cintai.
"Oh, iya. Cepa ya?" tambah ibunda Zea memastikan, yang ditatap hanya mengangguk singkat.
"Loh? Inu beneran Sativa gak ada?" Ayah Zea mendelik melihat lelaki putrinya tak ada disamping putrinya yang kini sedang menjalani perawatan di rumah sakit.
"Sativa kemana?" Ibunda Zea kembalu bertanya.
"Emm... udah di jalan tan, mungkin sebentar lagi datang," sengaja Rina menutupi permasalahan yang terjadi, mengingat seberapa tegasnya ayah sahabatnya itu. Rina tak bisa membayangkan jika nantinya ayah Zea tahu menenai hal yang sebenarnya terjadi, akan jadi apa Sativa nanti di tangan ayah Zea.
"Ohh... loh? Kalian gak mau balik ke sekolah aja? Gak apa-apa, biar tante sama om yang jagain Zea disini."
"Nanggung tan, bentar lagi jam pulang sekolah, udah izin juga tadi sama Pak Edi, nanti juga disampaiin," waktu pulang sekolah padahal masih berkisar tiga jam lagi, hanya saja Rina malas mengikuti pembelajaran di kelasnya.
"Gini aja om, tante, saya sama Cepa pulang dulu, habis itu kesini lagi," ucap Rina menampakkan deretan giginya.
"Ya udah, kalau mau pulang dulu. Ganti baju dulu, nanti boleh kesini lagi," tambah ibu Zea.
Mereka berdua berpamitan dan langsung keluar dari kamar pasien. Cepa berjalan mendahului tanpa menunggu langkah kaki Rina, laki-laki yang dilansir tak punya perasaan kecuali kepada orang-orang yang benar-benar ia pedulikan.
"Nebeng! Cep! Tungguin! Nebeng ya?" Rina berlari menyamakan kangkah kaki Cepa.
"Oke boleh nebeng, ke sekolah tapi."
"Kok balik ke sekolah? Anterin gue pulang aja!"
"Jangan bolos, ajaran siapa lo bolos kaya gitu, ada gitu ya cewe kaya lo."
"Tinggal tiga jam aja loh Cep, pelajaran Pak Darmawan nanti, sumpah Cep, balik aja gak usah ke sekolah lagi."
"Ya udah lo balik aja sendiri, naik grab kan bisa. Kalau mau nebeng, ya balik ke sekolah lagi, pula tas lo masih di sekolah kan?" Seperti terbentur sepatu Cinderella, amnesia lima belas menit nenyerang ingatan Rina. Rina sampai melupakan tas sekolahnya yang masih berada di dalam kelas, beserta dompet yang berisi uang sakunya.
"Ck! Kenapa tadi gak dibawa sekalian sih!"
"Ya kenapa lo ribet, orang tas juga tas lo sendiri," sahut Cepa kepada Rina yang masih bermonolog.
Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke sekolah melanjutkan tiga jam pelajaran terakhir. Di tempatnya mengemudi Cepa masih berkutat dengan hal konyol di pikirannya, secinta itu kah Zea kepada Sativa? Sampai tidak pernah menjelaskan perihal sakit yang dideritanya, padahal belum jelas apakah nanti Sativa menjadi jodoh Zea atau tidak, belum apa-apa Zea sudah berkorban banyak hal. Apa sulitnya mengatakan tidak dan menjabarkan alasannya? Zea terlalu cinta sampai gak bisa bedain mana hal yang lebih penting untuknya dari pada menjaga perasaan dan kekhawatiran kekasihnya. Memang benar cinta membutakan segalanya hanya untuk membahagiakan pemilik hatinya.
follow me,
keep reading add library
vote & builder comment
love you all💓✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Padi & Jagung✓
Novela JuvenilBaca secara urut setiap slide ya, kelewat satu slide dijamin tidak paham alur cerita. Zeanida Rachmaniar, gadis yang menginjak usia 17 tahun, gadis yang belum memahami arti cinta sesungguhnya. Disisi lain Revano Sativa Bachtiar, laki-laki yang me...