18

267 16 4
                                    


CAL POV

Rayanne Malik adalah orang terakhir yang kuharap meneleponku saat ini.

Aku sedang duduk memeluk lutut dilantai. Tidak memikirkan apa-apa. Tidak menginginkan apapun. Aku sedang berharap aku mati saja diam-diam ketika ponselku berdering nyaring.

Bangsat. Harusnya aku buang saja benda itu selagi bisa.

Aku hendak melemparnya ke seberang ruangan ketika kulihat nama peneleponnya. Rayanne. Seketika tanganku membeku di udara. Mau apa dia?

Pikiranku memutar ulang kejadian malam itu, membuat tubuhku gemetar dan kupeluk lututku makin erat. Tidak, aku tidak akan mengangkatnya.

Tetapi tentu saja, karena aku bodoh, aku tetap mengangkatnya.

"R... Ray?" sial, suaraku pecah.

"Cal...?"


*****


Aku tidak ingat aku tertidur dilantai. Begitu aku membuka mata, diluar jendela sudah gelap. Kulirik jam dinding tepat diatas TV. Sudah jam 10? wow, aku tertidur atau mati?

Ponselku masih tergeletak utuh disampingku. Sudah 6 jam semenjak Ray menelepon, dan hanya Tuhan yang tahu kapan terakhir kali aku makan. Rambutku kusut, dan ini pertama kalinya aku tidak ingin menyisir. Jika aku memang ditakdirkan menjadi gelandangan, maka jadilah aku gelandangan.

Aku bangkit dan berjalan kearah dapur, membuka pintu kulkas raksasa yang dibelikan ibuku seakan-akan aku peserta MasterChef. Kuintip kedalam kotak dingin itu. Hanya ada sebotol air mineral. Bagus, aku akan mati kelaparan.


Aku lumayan bersyukur tidak memusnahkan ponselku sekarang. Karena jika benda sialan itu sudah menjadi kepingan-kepingan tak berguna, aku tidak akan bisa memesan pizza dengan ekstra keju.

Setelah aku menelepon domino's, tanpa sengaja jariku menarik turun bagian notifikasi yang masuk. 21 missed call dari Luke. 3 buah chat dari ibuku yang menanyakan kenapa aku tidak ada kabar dan kapan aku akan datang untuk minum teh. Lalu ada beberapa pesan masuk lainnya yang tidak repot-repot kubaca.

Selagi menunggu, aku kembali duduk dilantai dan menyandarkan punggungku ke dinding. Jika Ash melihat, dia pasti akan mencemoohku. Banyak sofa mahal dan kau duduk di lantai? menyedihkan. Oh God, sudah berapa lama aku tidak bertemu bajingan itu?

Tetapi sejujurnya, aku tidak terlalu rindu teman-temanku. Atau mungkin memang aku sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa. Aku memang agak merasa kesepian, ditambah tinggal dirumah sebesar ini. Ini pertama kalinya kuharap aku memiliki rumah yang kecil. Mungkin sebuah apartemen dilantai 9. Indah untuk melihat pemandangan, dan memiliki presentasi keberhasilan yang besar jika aku berencana melompat kebawah.

TING... TONG...

Pizza ku datang cepat sekali.

Kuseret tubuhku dari lantai, menyambar beberapa dolar yang berserakan di konter dapur, dan berjalan seperti zombie ke pintu depan. Aku tidak repot-repot mengintip dari peep hole karena bahkan jika yang muncul didepanku nanti adalah pembunuh berantai, aku tidak akan banyak mengeluh.

Pintu mengayun terbuka dan yang bertatapan denganku selanjutnya bukanlah petugas pizza.

Ataupun pembunuh berantai.

Tetapi lebih buruk.

Harry Styles memandang balik kearahku.

Emosi bergejolak dalam diriku. Bajingan itu. Bisa-bisanya dia-

Tanganku melayang dan menampar wajahnya keras sekali.

Telapak tanganku terasa panas dan memerah berkat tamparan itu tetapi aku tidak peduli. "Kepara-"

Dia mengulurkan tangannya dan menarikku dengan keras ke dadanya. Dan sebelum aku menyadarinya, dia sudah memelukku erat, wajahnya bersembunyi dileherku.

Kami menangis bersamaan.

*****

"Makanlah." Ujarku parau. Suaraku hampir habis karena menangis terlalu lama. Aku tahu Harry mengalami hal yang sama.

Pizza didepan kami mungkin sudah tidak seenak 2 jam yang lalu karena sekarang benda itu dingin, tetapi kami tidak punya pilihan lain.

Harry mengulurkan tangan untuk membuka tutup kotaknya dan mengambil satu potong. Dia makan dalam diam.

Mataku menelusuri laki-laki itu sembari dia makan. Rambut ikalnya tetap indah walaupun tidak serapi biasanya. Kulitnya pucat dan ada kantung mata yang tak dapat terlewatkan begitu saja diwajahnya. Tubuhnya pun agak kurusan. Tetapi yang paling mencolok adalah matanya. Mata hijau yang amat sangat kukenal itu terlihat... mati.

Ada perasaan senang yang aneh karena mengetahui bahwa Harry sama hancurnya denganku.

Kularikan jari-jariku keantara rambut ikalnya dan menariknya mendekat kearahku. Harry menoleh dan wajah kami sejajar sekarang. Mataku turun kearah bibirnya dan kucondongkan tubuhku semakin dekat sehingga bibir kami tinggal beberapa inci jauhnya.

Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menciumnya lagi.

Harry memejamkan matanya dan memalingkan wajah.

Sebuah pisau seperti baru saja menusuk dadaku.

"Harry..."

Bajingan itu melingkarkan lengannya disekelilingku dan memelukku sangat erat.

"I'm so sorry, Cal... I'm so sorry..."

*****

Maaf menunggu lamaaa :'(

Kita bakal mulai masuk ke bagian yang menarik lol 1!1!!!!


EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang