15

1.2K 53 6
                                    


C A L

"Ray sakit."

Zayn berguling dari atasku sambil mengusap wajahnya. Dia menatap langit-langit dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

Aku memiringkan tubuhku dan melarikan jari-jariku ke dadanya yang bidang. "dia sekarat?"

"God, no." Zayn mengeluarkan tawa sedih. "sudah seminggu. Dia menolak makan di hari-hari pertama, sampai mom harus menggedor pintu kamarnya dan memohon agar dia makan. Dia tidak pernah keluar lagi. Bahkan saat aku membanjiri kamar mandinya untuk memancing amarahnya, dia hanya diam. Dia mengambil kain pel lalu membersihkannya. Tidak ada kata-kata kasar dan jeritan yang biasanya dia lontarkan padaku jika aku membuat ulah." Zayn menghela nafas. "aku tidak pernah menduga aku akan mengatakan ini, tetapi aku harap Ray yang cerewet akan kembali lagi. rasanya seperti hidup dengan zombie. Zombie yang wajahnya sangat mirip denganku."

"kau tau apa penyebabnya?"

"Harry."

Of course.

"aku tidak bisa membantu."

"kau bisa, tolonglah. Suruh Harry temui Ray, aku tidak ingin bajingan itu mendekati saudaraku tetapi jika itu yang akan menyembuhkannya, maka aku sendiri yang akan menjemput bangsat itu."

Aku tidak tahu bahwa Harry belum menemui Ray. Kupikir setelah pengakuan si bajingan bahwa dia mulai jatuh cinta pada Ray, dia akan selalu berada didekatnya. Seperti kami dulu. Tetapi sekarang dimana Harry? Mengapa dia menghilang ketika dia mulai menyadari perasaannya?

"aku tidak bisa."

Zayn menoleh kearahku dan mata cokelatnya menatapku dengan kesedihan yang terpancar dari sorotnya. "dia benar-benar berarti bagiku."

*****

Kumatikan rokokku dan mengibaskan tangan untuk mengusir asap dari mobilku. Aku tahu seharusnya aku tidak merokok didalam mobil, tepat didepan rumah mereka, sebelum aku pergi menjenguk. Tetapi benda sialan itu membuatku tenang.

Setelah memastikan bahwa bauku tidak seperti asap, aku menyambar tas kertas penuh dengan cokelat dari passanger seat dan melangkah keluar. Hari ini aku merasa seperti seorang aktor yang sedang bermain peran. Seharusnya Guiness mencatat penampilanku sekarang. Sweater dan legging hitam yang hampir menutupi seluruh badanku? Only once in a lifetime.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bertamu. Aku hanya pernah kerumah Harry, itupun dia tinggal sendirian dan bisa dibilang rumah itu sudah seperti rumahku sendiri. Aku berkunjung kerumah Grandma Marie beberapa kali, ketika aku berumur 7 tahun. Dan aku ingat kue-kue sialan pembuat gendut yang aku suka. God, dulu aku makan semua kue itu seperti babi.

Aku hampir mengeluarkan ponselku dan memberitahu Zayn bahwa aku sudah disini, tetapi rasanya tidak pas. Jadi kuurungkan niatku dan memencet bel.

Hanya butuh satu dering sampai pintu terbuka.

Berdiri didepanku, adalah seseorang yang aku yakini adalah ibu dari Ray dan Zayn Malik. Dia cantik, dengan rambut cokelat sebahu dan mata yang sejuk. Aku bisa membayangkan dia berjalan-jalan di pusat perbelanjaan New York dengan sejuta tas belanjaan ditangan, jika dia tidak terlihat sebaik dan seibu ini.

Dan dia terlihat lelah dengan aura sedih.

"kau pasti Cal. Masuklah, mereka didalam." Dia memberiku senyuman hangat dan bergeser kesamping agar aku bisa masuk. Senyumku kaku dan mungkin terlihat tidak tulus, tetapi Mrs. Malik tidak terlihat seperti orang yang suka menilai orang lain.

Aku melihat Zayn menuruni tangga, terlihat tampan seperti biasanya. Dia memberiku senyuman kecil.

"aku Trisha."

"kau bisa memanggilku Cal." Aku mengangguk kecil dan mulai merasa awkward.

"mom, aku dan Cal akan keatas."

"camilannya ada di counter."

"oke."

Aku memberikan senyuman kaku-tapi-tulus pada Trisha sebelum mengikuti Zayn ke lantai dua. Aku suka rumah mereka. Bukan karena furniture atau desainnya yang indah, melainkan karena bangunan ini terasa seperti rumah.

Zayn tiba-tiba berhenti ditengah-tengah koridor dan memutar tubuh untuk menghadapku. "kupikir kau tidak akan datang."

"aku tidak sejahat itu, keparat."

Dia tersenyum. "aku tahu." Dan dia mencondongkan tubuh kearahku, bibir kami bertemu. Kami berciuman singkat sebelum dia akhirnya mendesah dan mundur selangkah. Kulihat lagi sorot sedih dimatanya.

Kami menuju sebuah pintu berwarna pale pink yang tertutup rapat.

"aku akan menunggu dikamarku. Tepat disebelah."

Aku mengangguk dan mengecupnya singkat sebelum membuka pintu didepanku.

Rasanya seperti melangkah kedunia lain. Ruangan ini penuh dengan warna dan terasa lebih hidup daripada warna hitam dan putih yang mendominasi kamarku. Dan begitu banyak pajangan, rak buku, dan foto-foto polaroid yang direkatkan di dinding. Kamar itu begitu rapi seperti tak pernah ditempati oleh pemiliknya lagi. well, itu benar, secara nonfisik.

Rayanne Malik sedang tidur di ranjangnya. Aku akan mengira bahwa dia mati jika tidak ada gerakan bernafas pada dadanya, karena dia tidur sangat lelap seperti tidak akan bangun walaupun kiamat datang. Dan dia terlihat cantik.

Aku melangkah mendekat dan meletakkan tas kertas berisi cokelat tadi di meja riasnya, lalu berdiri disamping tempat tidur untuk mengamatinya. Dia terlihat lebih pucat dan lebih lelah daripada biasanya.

Aku bisa saja berada ditempat Ray saat ini, pikirku, mengambil sejumput rambut cokelatnya. Sakit karena jatuh cinta pada orang yang salah. Amat sangat salah.

Tatapanku turun dari wajah Ray kearah piama bermotif beruang yang dikenakannya. Tangan gadis itu terkulai disisi tempat tidur sehingga aku membetulkan letaknya tetapi lengan piama panjang tersebut tersingkap kebawah dan aku melihatnya.

Luka-luka itu seperti lukisan dengan pinggiran yang tajam bergerigi, penuh dengan kesedihan dan bisikan minta tolong.

Aku tidak pernah cutting, dan tidak pernah melihat lukanya sebelumnya. Harry mengajariku bahwa cutting hanya untuk orang-orang lemah dan aku bukanlah orang lemah, itulah mengapa dia menyukaiku. Ucapannya terpatri dalam benakku seperti olesan cat yang tidak bisa terkelupas.

'gadis lain tidak sekuat kau' kata Harry ketika Mr. Gill, kepala sekolah kami saat SMP, mengumumkan kabar duka bahwa Katie Dunn dari kelas biologi ditemukan dikamarnya pagi itu dengan 30 pil di perutnya. Mataku berair tetapi Harry tidak suka melihatku menangis, jadi aku menahan emosiku sampai akhirnya aku melupakannya.

Dan kini rasanya aku kembali ke aula sekolah itu lagi, dengan suara Mr. Gill dari mikrofon berdengung ditelingaku. Rasanya aku seperti berdiri didepan peti Katie Dunn lagi, dan Harry harus berulang kali membisikiku bahwa aku adalah gadis yang kuat agar tidak menangis.

Tapi kini, berdiri dihadapan Ray, aku tidak ingin menangis. Aku merasakan gelombang kesedihan yang mulai menyapuku, dan sebelum aku bisa merasakan sesuatu yang lebih menakutkan, aku keluar dari kamar gadis itu dan langsung menuju pintu sebelah.

Zayn sedang berbaring diranjangnya, menatap langit-langit.

"Ray mengidap depresi."

***

Chapter ini agak lebih pendek dari biasanya karena ini kutulis cuma dalam waktu 2 jam, sebagai hadiah buat kalian yang udah setia nunggu cerita ini update :)) Dan chapter ini nunjukin bahwa Cal yang kalian kenal kuat dan mandiri sebenarnya punya sisi lembut juga!

P.S. you guys are the best!

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang