16

1.4K 43 10
                                    

CAL POV

Trisha jelas-jelas adalah seorang koki yang baik. Walaupun meja makan malam itu terasa amat sangat sepi (hanya ada dia, aku, dan Zayn), tetapi dia memasak seperti akan mengadakan pesta.

"beginilah cara kami menyenangkan tamu. Dan lagi, kau kelihatan sangat kurus." Ujarnya sambil tersenyum sembari menyiapkan lasagna.

Aku membantu Zayn mempersiapkan alat makan—well, sebenarnya peranku tidaklah penting. Zayn menyuruhku duduk diam saja dikursi tetapi karena aku keras kepala, aku membantunya meluruskan taplak piring yang agak miring—setidaknya aku membantu.

Trisha membawa baki makanan keatas untuk Ray. Raut wajahnya berubah sangat sedih ketika dia mencapai anak tangga pertama, seakan-akan selama ini dia berpura-pura tersenyum, yang memang kelihatannya seperti itu. Aku mengawasinya hingga dia menghilang di lantai dua.

Kuharap Harry ada disini sekarang. Aku tahu dia sangat menyukai masakan rumahan. Aku ingat pertama kali aku memasak untuknya. Omelette pertamaku, dirumahnya yang kosong. Rasanya seperti garam dengan ekstrak telur dan aku sudah siap membumi hanguskannya tetapi Harry bersikeras untuk menghabiskannya.

Begitu Trisha kembali dan kami mulai makan, pikiranku melayang kepada kemungkinan-kemungkinan tidak mengenakkan seperti dibombardir pertanyaan tentang Harry. Aku tidak tahu harus menjawab apa, aku bahkan belum bertemu dengannya selama beberapa hari.

Tetapi Trisha tidak membahas tentang anaknya yang depresi di lantai dua. Dia membahasku, dan Zayn, dan sekolah. Aku tidak tahu apakah dia tahu tentang hubunganku dan Harry, tetapi kalau dia tahu, dia tidak menunjukkan kebencian padaku. Dia bahkan tidak menyebut-nyebut tentang Harry.

Lasagnanya enak. Saladnya enak. Bahkan air putih lemonnya enak.

Kali ini aku tahu diri sedikit. Setelah makan kubereskan piring-piring dan meletakkannya di dishwasher. Zayn hanya nyengir dibelakangku, menertawai kegugupanku karena seluruh hal di malam ini merupakan hal yang asing bagiku. Aku pasti tampak tolol.

"tinggalkan saja, biar aku yang mengurusnya. Kalian anak muda pergilah kemana dan melakukan hal-hal yang anak muda biasanya lakukan." Trisha mengibaskan tangannya mengusir kami. Aku dan Zayn bertatapan, berusaha menelan gelak tawa kami karena aku tahu, kami memikirkan hal yang sama; sex. Walaupun aku (juga) tahu bahwa bukan itu maksud Trisha.

"ayo ke apartemen Luke, mungkin ada acara bagus disana." Zayn nyengir.

Dia naik ke kamarnya untuk berganti baju sementara aku menunggu di counter dapur.

"Cal?" tiba-tiba Trisha memanggil.

"ya?" aku mendekatinya.

"Zayn banyak bercerita tentangmu." Katanya sambil mengeringkan tangan. "aku tahu kau tinggal sendirian dan kau jarang bertemu dengan ibumu, jadi aku hanya ingin memberitahu bahwa rumah ini selalu terbuka untukmu, oke?" jemarinya mengelus pipiku pelan dan saking terkejutnya, aku tidak menjauh seperti biasanya ketika ada orang asing yang menyentuhku. "you're a nice girl and you deserve the happiness in the world."

Aku hanya mengangguk, kehilangan kata-kata. Kutatap mata cokelat Trisha seluruh wajah keibuannya, raut sedihnya, senyum tulusnya, dan aku tetap memandanginya ketika dia meninggalkan dapur. Ada suatu perasaan familier yang sudah lama tidak kurasakan. Sesuatu yang kurindukan.

Aku berjalan ke teras rumah keluarga Malik dan mengeluarkan ponselku. Kucari sebuah nama di kontak, yang cukup lama tak kugubris.

Kudekatkan ponselku ke telinga dan mendengarkan nada deringnya.

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang