19

432 15 6
                                    

RAYANNE POV

"Aku ingin pergi ke Auschwitz dan melihatnya sendiri."

Mataku melirik Hayes, yang wajahnya tersembunyi dibalik buku yang dibacanya. Kubaca sekilas judulnya, lalu tersenyum. Dia sedang membaca buku tentang salah satu Kamp Konsentrasi Nazi, Auschwitz.

"Aku juga. Mungkin kita bisa pergi kesana bersama."

Hayes mengintip dari balik bukunya. Dilihat dari kerutan diujung matanya, dia sedang tersenyum. "Kebanyakan perempuan ingin pergi ke Disneyland, Bora-Bora, atau Bali."

Aku mengangkat bahu. "Aku suka sejarah. Dan aku sudah banyak membaca tentang Auschwitz, dan Anne Frank." Aku menghela nafas. "Aku benar-benar ingin pergi."

"Mau pergi sekarang?" Kini Hayes benar-benar sudah menurunkan bukunya dan dia berhadapan denganku, bibirnya tersenyum lebar.

Wajah yang sangat berbeda dengan Harry, pikirku, dan dadaku langsung terasa sakit. Memikirkan laki-laki itu saja dapat membuat tubuhku kesakitan. Tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku merindukannya, amat sangat merindukannya.

"Ray?"

Aku tersadar dari lamunanku dan kembali menatap mata biru Hayes. Perasaan bersalah langsung membanjiri diriku karena tidak seharusnya aku membandingkannya dengan laki-laki bajingan itu. Hayes sangat berbeda, dia lembut, dia perhatian, dia mengerti diriku, dan dia tidak akan mungkin meninggalkanku seperti apa yang Harry sudah lakukan.

"Maaf, aku cuma sedikit melamun." Aku memberikannya senyum kecil. "Kau bilang kita bisa pergi sekarang?"

Hayes tergelak dan dia mengangguk-angguk bersemangat. Diulurkannya tangannya kearahku.

Kujabat tangannya dan dia menarikku berdiri dari lantai perpustakaan yang sudah kita duduki semenjak berjam-jam yang lalu.

"Tapi sebelum pergi ke Auschwitz, ada baiknya kita mengisi perut dulu."

"Setuju!"

Kuserahkan buku-buku yang tadi kami baca dan dia mengembalikannya ke rak tanpa melepaskan gandengan tangannya padaku. Kemudian kami melangkah keluar gedung dan berhenti sejenak untuk menikmati sinar matahari yang menyoroti kulit kami. Aku tidak tahu kami akan makan dimana, tetapi aku mengikuti Hayes tanpa banyak bertanya. Aku percaya padanya.

Kami berjalan beberapa blok jauhnya dari gedung perpustakaan kota hingga sampai di gang kecil dimana cafe-cafe kecil yang terlihat cantik memenuhi setiap sisinya. Hayes menoleh untuk tersenyum padaku dan dia menuntunku memasuki gang itu.

Kami memasuki salah satu cafe disana. Catnya berwarna kuning dengan pintu kayu tua berwarna biru muda. Tidak ada papan bertuliskan nama cafe itu, tetapi Hayes terlihat yakin sehingga aku menduga bahwa dia sudah pernah kesini. Begitu kami masuk, wangi pizza yang baru keluar dari oven langsung membanjiri indra penciuman kita dan perutku langsung bergolak minta makan.

Kami duduk disalah satu meja didekat jendela dan seorang pelayan membawa buku menunya ke meja kami. Dia seorang perempuan cantik berambut pirang dengan tubuh yang bagus, dan jelas-jelas naksir Hayes. Aku tidak kaget dengan itu. Hayes tampan dan jelas-jelas menarik. Dia memiliki aura riang yang terpancar dari bibirnya yang selalu tersenyum dan matanya yang berbinar cerah.

Kami memesan pizza, pasta, dan cola. Biasanya aku mengontrol kadar junk food yang kukonsumsi tetapi belakangan ini aku tidak terlalu peduli lagi.

Kuamati cafe ini dan mataku berhenti pada tanaman mawar didekat jendela kami. Warnanya merah, putih, dan pink. Indah sekali. Aku penasaran apakah ada mawar berwarna biru. Jika ada, akan sangat menyenangkan sekali untuk melihatnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang