Love In Dubai

1.3K 56 0
                                    

Mentari di Timur terasa hangat di bulan kasih sayang ini. Burung-burung berkicauan saling sahut, seperti sedang bercanda gurau.

Basant tengah menyapu halaman rumah panggung, yang telah 4 bulan ini ia tempati dengan ayah angkatnya juga adik angkat yang baik dan manja.

Kesehariannya terasa menyenangkan, diawali dengan berbenah rumah, menyapu halaman lalu menyiram tanaman di halaman yang cukup luas. Rumah panggung itu memberikan energi positif untuk kandungannya.

Tetangga yang masih jarang dengan jarak rumah berjauhan yang ramah dan baik hati. Selalu menyapa dan mengajaknya berbincang. Tak ada yang bertanya siapa ia? Darimana asal usulnya? Ataupun siapa ayah dari anak yang tengah dikandungnya?.

"Jangan terlalu lelah Neng, kasihan bayimu itu loh." Pak Aji sudah kembali dari ladang. Setiap habis subuh beliau selalu ke ladang untuk membuka irigasi air agar mengaliri hamparan sawahnya yang luas.

"Sekalian olah raga Pak, bosan juga aku kalo cuma diem aja."

"Ya udah, tapi jangan dipaksa kalo udah cape ya. Amel sudah pulang ngaji?" Basant menggelengkan kepalanya. Setiap adzan subuh berkumandang, Amel berangkat mengaji di pesantren yang jaraknya hampir 3 km dari rumah mereka dengan berjalan kaki saja.

"Nanti kalo sudah balik kasiin ini uang spp buat ngelunasin sampe akhir tahun pelajaran. sama suruh dia bawa beras ketan buat guru-gurunya sekalian." setelah itu pak Aji langsung masuk melalui pintu belakang untuk mandi dan bersiap-siap ke ladang kembali.

***

"Teh, Amel berangkat dulu ya. tadi harus piket dadakan jadi pulang jam segini," Amel datang dari arah pintu menatap Basant yang tengah meniup perapian dengan susah payah.

"Mel, ini ada titipan dari bp buat uang bangunan. Sama katanya bawa beras ketan yang di karung itu buat guru kamu." Amel mengangguk dan langsung memikul karung beras 15 kg itu di punggunggungnya.

Melihat Amel sudah berangkat, Basant kembali melanjutkan aktifitasnya yang tadi terhenti. Sejak berada di rumah Pak Aji ia masih belum terbiasa memasak menggunakan tunggu kayu bakar saat memasak.

Walau bagaimana ia terbiasa memasak dengan praktis dan mudah. Namun di kampung ini ia tak bisa bermanja, karena yang memiliki kompor dan kompor gas hanya orang-orang tertentu saja.

Memasak dengan tungku yang memakan waktu sampai satu jam lebih akhirnya berakhir dan demi tidak kesusahan untuk nanti memasak lagi, Amel biasanya membiarkan bara di kayu tetap menyala.

"Sepertinya enak banget Neng masakan pagi ini?" Pak Aji sudah siap dengan komprang dan tudung di kepalanya.

"Mudah-mudahan aja Pak, ini ikan yang ditangkap bp dari parit tadi." Basant mencoba membuat pepes ikan alakadarnya yang ia masak didalam abu perapian.

"Ini mah udah pasti pedo elom atuh geulis," keduanya tertawa mendengar celetukan pak Aji yang memang selalu membuat suasana menjadi menyenangkan.

"Pak, Basant mau minta izin hari ini harus imunisasi ke kampung sebelah dulu." Pak Aji mengangguk tanpa menjawab karena mulutnya yang penuh dengan makanan.

"Kamu mau berangkat sama siapa? Biar bp antar aja yo," Basant meminum airnya," Jangan Pak, nanti ada Teh Ane sama Bi Isah yang juga mau ke sana."

"Ya udah ini uang buat ongkos, nanti jangan jalan abis naik angkot. Kasihan anakmu, mending naik ojek saja."
"Enggak pak, kalo aku naik ojek kan kasihan mereka gak keajak, biar Basant jalan aja. Sekalian ingin mengenal kampung ini juga lebih banyak.

Pak Aji tak mendebat lagi, ia tau Basant wanita tegar yang kuat dan penyayang. Ia bersyukur telah menemukan wanita seusia putri sulungnya yang telah tiada waktu ia mengecek air di parit. Keadaan Basant yang mengenaskan membuat hatinya tersayat. Bagaimana bisa ada orang tega membuang wanita hamil dipinggir hutan dalam keadaan tak sadarkan diri.




Love In DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang