Love In Dubai

1.4K 52 2
                                    

Rumah dengan dinding terbuat dari kayu itu masih terlihat sama. Setiap jengkalnya mengukir kenangan masa kecilnya bersama keluarga, Ayah, ibu dan juga Basant.

"Kenapa kemana pun aku pergi selalu mengingatmu?" lamunan Farlan terhenti saat seorang wanita paruh baya menghampirinya.

"Dasar anak nakal," wanita itu memukul-mukulkan tongkat kayunya pada tubuh Farlan.

"Aduh ... duh ... Nenek sakit. Ampun ampun Nek," Farlan berlari kecil dan terus di ikuti Nenek tua yang terus memukulinya.

"Enak aja kamu minta Maaf, dasar anak nakal ...." dari arah berlawanan seorang wanita usia 40 an menghalangi Nenek tadi yang masih terus mengejar Farlan.

"Duh Ibu, Alan ini kan sudah besar dan dewasa. Masa mau dipukuli kayak anak kecil?"

"Ndak bisa. Ini anak tega banget gak datang sejak lama, dan baru sekarang datang?"

"Bu Ana tolong saya," Farlan bersembunyi di belakang punggung Bu Ana, "Iya Nenek Aminah, Alan salah. Tapi Alan udah minta maaf sama Nenek. Janji deh Alan bakal tinggal lebih lama di Indonesia."

"Janji?" jari kelingking Nenek Aminah terulur ke arah Farlan.

"Udah ikuti saja mau Nenek." Bisik Bu Ana dengan menyediakan matanya.

Dengan pandangan masih terheran-heran Farlan menyambut dengan jari kelingking miliknya.

"Gitu dong, sini Nenek peluk." Nenek Aminah merentangkan kedua tangannya tanda mempersilahkan Farlan untuk memeluknya.

"Nenek kenapa masih galak sih?" dengan wajah polosnya Nenek Aminah justru hanya tersenyum manis.

"Udah kangen-kangenannya di dalam saja, semua sudah menunggu."

"Apaan sih bu yang kangen-kangenan? Yang ada juga KDRT,"

Di dalam rumah kayu anak-anak sudah duduk berbaris mengelilingi meja yang berisi banyak makanan tersaji.

"Selamat datang KAK Alan ...." ucap semuanya secara bersamaan.

"Hay dede-dede kesayangan kakak yang udah pada kece," semua langsung menyerbu memeluk Farlan berebutan.

"Sudah-sudah sekarang mending kita mulai acaranya ya," bu Ana mencoba menenangkan suasana yang mulai tak terkendali.

Acara dimulai dengan doa bersama. Lalu semua menyerbu hidangan yang tersaji.

"Sini makan, Nak. Kau terlihat seperti pengemis tak makan setahun," cibir Nenek Aminah dengan tangan menyuapkan urang saus padang kesukaan Farlan.

"Nenek, sampai kapan mau terus menghinaku?" Farlan memasang wajah kesal yang dibuat-buat.

Nenek Aminah adalah adik dari Nenek kandungnya yang mengurusnya sejak sang ibu meninggal.

"Apa ada yang salah?" Farlan mengendikkan kedua bahunya. Percuma ia mendebat, "makanlah banyak-banyak. Nenek sengaja masak makanan kesukaan mau ini."

"Benar kata Nenek, beliau bangun dari subuh ke pasar lalu menyiapkan semua hidangan ini Semua," Farlan ngarangkul nenek dan mengecup keningnya.

"Iya bu, aku tau nenek akan melakukan segalanya untukku,"

Acara berakhir saat adzan magrib berkumandang, dan semua anak-anak rumah kayu bersiap untuk berjamaah dan mengaji di mesjid samping rumah.

"Bagaimana kabar istrimu, nak?" Nenek mengagetkan Farlan yang tengah menghisap rokok di halaman belakang.

"Entah nek, dia seperti ditelan bumi. Mungkin ia sudah bahagia dengan selingkuhannya," nenek menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak setuju dengan pemikiran Farlan yang terselimuti api cemburu.

"Sudahlah kau jangan ke mana-mana malam ini. Esok pagi kita siap-siap ke pabrik," Farlan mengangguk, lalu nenek pamit untuk istirahat.



****


Pertambangan batu bara yang tengah diawasi perusahaannya begitu luas dan menguntungkan, banyak investor lokal dan juga asing yang ingin menanamkan modal di tambangnya ini. Tapi Farlan tak ingin jika perusahaan ini jatuh ke tangan orang-orang yang salah.

70% pendapatan pertambangan Farlan sumbangkan kepada anak yatim, sekolah-sekolah sebagai beasiswa untuk siswa siswi berprestasi. Itu sebabnya masyarakat sekitar begitu peduli dan selalu membantu perusahaan menjadi lebih berkembang.

"Bagaimana Alan, apa menurutmu sudah saatnya nenek menyerahkan  semua ini padamu?" pertanyaan disela-sela kunjungan dipeleburan batu bara.

"Aku tidak bisa nek, saat ini aku harus menyelesaikan proyek hotel di 8 kota di Indonesia."
"Apa sebodoh itu kau ini?" Farlan menghentikan langkahnya dan menatap nenek yang sama berhenti di sampingnya.

Farlan lelaki yang mudah tersinggung dengan kata-kata neneknya yang pedas.

"Apa maksud Nenek?"

"Ya apa otakmu hanya mampu mengatasi bisnis murah ayahmu saja? Dan tak mampu melanjutkan perusahaan besar milik keluarga ibumu?"

"Nek, aku tak mau salah jalan. Lagi pula begitu banyak orang yang membantu nenek di sini." elaknya.

"Alah orang bodoh itu memang banyak sekali alasannya. Apa kau tau? Ibumu mewariskan semua ini untuk kau bangun dan jaga. Agar masyarakat tetap mendapatkan hak mereka, dan anak-anak tak ada lagi yang terlantar di jalan,"

Farlan terdiam dan merenungi semua ucapan neneknya.

"Nenek tak ingin perusahaan yang sudah berdiri dari puluhan tahun ini berakhir ditangan orang-orang yang serakah. Lihat!" Jari telunjuk nenek menunjuk sekelompok pekerja wanita yang sudah berusia senja.

"Aku tak tega melihatnya, mereka bekerja demi kehidupan layak di negara yang katanya kaya ini. Tapi lihat diusi tua mereka tetap harus bekerja keras dalam keadaan terik panas membakar kulit mereka, apa kau tak tersentuh?"

"Ok! Aku siap melanjutkan perusahaan ini. Tapi dengan syarat, aku akan tetap tinggal di Dubai."

"Mati saja Kau," nenek memukul kepala Farlan dengan keras.

"Duh nek, sakit."

"Itu hukuman buat anak bodoh dan idiot sepertimu," nenek melakukan cepat meninggalkan Farlan yang masih terlihat kesal atas perlakuan nenek padanya.

"Sebentar lagi aku akan mati nak, dan hanya kau harapanku satu-satunya." gumam nenek Aminah ditengah langkahnya.






 

Love In DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang