Bab 5. Jatuh Cinta

44 1 0
                                    

Setiba di rumah, Prapti kaget dengan keadaan Sri yang pingsan dan belum sadarkan diri. Paimo dan Bram mengangkat Sri dan membawanya ke dalam rumah. Kemudian Sri dibawa ke dalam kamarnya dan di baringkan di atas tempat tidur.

Prapti membuatkan teh panas untuk Sri, tapi Sri belum sadar juga. Prapti cemas dan menanyakan bagaimana kejadiannya sampai Sri bisa pingsan. Namun Paimo tidak bisa menjelaskan, karena nggak mungkin dia berbohong, sementara ada Bram di situ.

"Kang, sebenarnya ada apa kok Sri sampai pingsan?" tanya Prapti penuh selidik.

"Nggak tau Ti. Tiba-tiba dia pingsan," jelas Paimo.

"Lho dia pingsan kan pasti ada sebabnya?" cecar Prapti.

Bram yang mengetahui gelagat tidak baik dari Paimo mencoba menjelaskan.

"Maaf Mbak, tadi saya menemukan Mas Paimo ini sedang memapah Sri yang pingsan, saat hendak keluar cafe," jelas Bram. "Mungkin Sri masuk angin atau kecapekan."

"Lho! Jadi pingsannya di cafe? Bukannya jam segini biasanya Sri baru pulang kerja, Kang?" tanya Prapti dengan nada suara meninggi

Paimo yang ketakutan kedoknya terbongkar, hanya bisa diam dan mematung di kamar Sri.

"Kang, kenapa kamu bisa berada di cafe sama Sri? Kenapa nggak langsung pulang?" teriak Prapti penuh amarah.

"Tadi ... sewaktu jemput Sri, Sri minta jalan-jalan, katanya dia ingin lihat-lihat kota dan Sri mengajak ke cafe di kawasan kota lama. Dekat gereja sana," jelas Paimo berbohong.

"Kenapa Sri nggak ngomong aku, kalau dia pingin jalan-jalan?" tegas Prapti.

Bersamaan dengan suara Prapti yang meninggi, Sri mengerang kesakitan dan mulai siuman, Prapti mendekat dan mencoba membantu bangun dan menyenderkan badannya di tempat tidur. Sri masih merasakan pusing, mungkin karena pengaruh obat tidur yang diberikan Paimo.

Sri yang masih lemas, kemudian bertanya, "Mbak Prapti ada apa ini kok semua ngumpul di kamarku?"

"Iya Sri, tadi kamu pingsan di cafe, kemudian saat kang Paimo hendak membawamu pulang, ketemu sama mas ini," jelas Prapti sambil menunjuk Bram.

"Mas Bram?" ucap Sri.

"Iya Sri, kamu nggak apa-apa kan?" kata Bram.

"Alhamdulillah, Mas. Hanya pusing sedikit," jawab Sri.

Paimo yang masih mematung di kamar Sri, hanya diam tak mampu berkata-kata, karena takut kebohongannya sebentar lagi pasti terbongkar.

Prapti yang masih penasaran dengan penjelasan suaminya, kemudian mencoba meminta penjelasan pada Sri kenapa, sampai pingsan di cafe?

"Sri kenapa kamu nggak ngomong sama aku, kalau kamu ingin jalan-jalan," tanya Prapti.

"Maaf, Mbak Prapti. Bukan aku yang ngajak jalan-jalan, tapi kang Paimo yang menjemput aku lebih awal dan meminta ijin pada bu Susi," jelas Sri pelan dan terbata-bata. "Tadinya aku pikir mau langsung pulang, ternyata kang Paimo mengajak aku masuk ke cafe."

"Bener begitu, Kang? Jangan-jangan kamu suka ya, sama Sri?" tegas Prapti. "Awas aja ya, kalau kamu macem-macem sama Sri."

"Kali ini aku maafkan kamu, Kang!" ucap Prapti. " Tapi kalau kamu ketahuan macem-macem sama Sri, aku nggak segan-segan nyeraiin kamu, toh ini rumah hasil jerih payahku."

Bram yang mendengar semua percakapan itu, berpikir bahwa dia harus melindungi Sri dari Paimo. Bram nggak ingin gadis yang dia cintai terengut kehormatannya.

"Aku berjanji Sri, akan menjagamu dan akan melindungimu dari ulah Paimo dan pria-pria seperti Paimo di luar sana," gumam Bram.

"Hmm ... maaf Mbak, Kang. Saya pamit dulu, kalau Mbak butuh bantuan, Mbak bisa ke rumah saya di gang sebelah tepatnya di ujung gang yang ada pohon kecapinya." pamit Bram.

Prapti mengangguk, tak lupa mengucapkan terima kasih, karena Bram telah menolong Sri dan kang Paimo. Prapti pun mengantar Bram hingga ke pintu. Sementara Paimo sudah berada di ruang tengah.

Setelah menutup pintu, Prapti kembali ke kamar Sri, memastikan Sri sudah lebih baik.

"Sri, kamu sudah lebih baik?" tanya Prapti.

"Alhamdulillah, Mbak." Jawab Sri sambil bangun dan beranjak ke kamar mandi.

"Syukur deh kalau kamu sudah baikan, lain kali kalau kang Paimo jemput kamu lebih awal kamu kasih tahu aku, ini aku ada handphone buat kamu, kalau belum bisa nanti aku ajari." kata Prapti seraya meletakan benda pipih tersebut di atas meja rias.

"Baik, Mbak. Terima kasih," ucap Sri.

"Ya sudah aku istirahat dulu, jangan lupa kunci pintunya," kata Prapti seraya mengingatkan.

"Iya Mbak," jawab Sri sambil mengikuti Prapti dan mengunci pintu.

***
Simbok yang tidak bisa tidur, karena masih kepikiran kejadian setelah salat isya, ingin memastikan keadaan Sri, anak gadisnya. Namun bagaimana mungkin, hari sudah malam dan Simbok nggak tahu rumah Prapti di kota.

"Ya Allah mudah-mudahan nggak terjadi apa-apa pada Sri, anakku," pinta Simbok dalam doanya.

***
Sementara Bram masih menerka-nerka kejadian di cafe yang menimpa Sri. Bram curiga, bahwa Paimo punya niat jahat pada Sri. Namun Bram tidak bisa begitu saja untuk menuduh Paimo seperti itu, karena Bram belum punya cukup bukti.

"Lebih baik mulai besok, aku ikuti aja kang Paimo, sambil mengumpulkan bukti-bukti," gumam Bram.

Malam semakin larut, tapi Bram masih termangu di teras rumahnya. Dia nggak habis pikir, kenapa Paimo tega menjebak Sri sedemikian rupa. Dia tidak dapat membayangkan kalau tadi, dirinya tidak ada di sana.

"Alhamdulillah Sri masih dilindungi oleh Allah SWT," ucap Bram penuh syukur.

***
Di rumah Prapti, Paimo dan Prapti terlibat pembicaraan serius. Entah apa yang di bicarakan, yang pasti ini tentang Sri. Prapti nggak habis pikir kenapa Paimo setega itu pada Sri, yang sudah dianggap Sri sebagai kakangnya sendiri.

Paimo yang sudah terpojok hanya bisa diam dengan cecaran pertanyaan dari Prapti. Prapti yang merasa telah dikhianati oleh suaminya, mencoba memaafkan dan memberi kesempatan pada Paimo untuk memperbaiki kesalahannya.

"Jangan coba-coba ya, Kang! Kalau kamu nggak ingin tinggal di jalanan." Ancam Prapti pada suaminya. "Camkan itu Kang!"

Paimo yang khawatir dicampakan Prapti, karena takut nggak punya apa-apa lagi, dia menuruti apa kata istrinya. Bahkan sejak kejadian itu Prapti melarang Paimo membawa motornya untuk berangkat kerja. Dan Prapti sendiri sekarang yang menjemput Sri pulang kerja. Prapti sudah tidak percaya pada Paimo lagi.

Sebenarnya Prapti juga nggak tega, tapi demi kebaikan bersama Prapti harus tega. Terlebih keselamatan Sri adalah tanggung jawabnya, karena Prapti sudah berjanji pada simboknya Sri.

Sri yang masih merasakan sedikit pusing, selesai salat bergegas ingin melanjutkan tidurnya. Namun matanya masih susah untuk dipejamkan. Sri mencoba mengingat kejadian tadi, tapi semakin diingat semakin kepalanya sakit.

Bersambung

SRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang