Bab 17. Kecewa dan Bahagia

25 1 0
                                    

Malam itu juga, Bram pergi menjemput simbok atas permintaan istrinya, ketika Bram hendak memarkir motornya, di depan agen travel, dari kaca spion motornya dia melihat pak Bandi dengan anak buahnya. Dia memutar otak sebentar, kemudian dia mengurungkan niatnya untuk naik travel, lalu secepat kilat dia melajukan motornya untuk mengelabuhi Bandot tersebut, Bram mengambil jalan tikus, sehingga mobil pak Bandi tidak bisa mengikutinya.

Bram terus melajukan motornya, ke rumah Mamad, dia khawatir, karena Sri dalam bahaya, untuk itu dia meminta tolong Mamad untuk menjemput simbok dan membawanya ke rumahnya.

Tok tok tok

"Mad ... Mamad," panggil Bram dari luar.

Yang dipanggil kemudian datang dan membukakan pintu, setelah mengutarakan maksud kedatangannya dan Mamad menyetujui, Bram bergegas pulang, dia nggak ingin keselamatan Sri jadi taruhannya.

"Mad, cepat ya kamu jemput simbok ke kampung," pinta Bram.

"Baik, aku akan berangkat sekarang juga," jawab Mamad. "Kamu hati-hati jaga istrimu baik-baik."

Bram kemudian segera melajukan motornya, untuk pulang ke rumah. Dia sengaja melewati jalan tikus, agar tidak bertemu dengan pak Bandi. Sesampai di rumah dia segera mengetuk rumahnya dan memanggil istrinya.

Sri segera membuka pintu, dan mencecar Bram dengan beberapa pertanyaan. Namun yang ditanya hanya diam, sambil memasukkan motornya ke dalam rumah. Sri lalu menutup pintu dan menguncinya, kemudian wanita yang tengah berbadan dua itu mengikuti suaminya dari belakang.

Bram mengambil gelas di atas meja makan dan menuangkan air dari teko yang sudah disediakan, Bram lalu menegak minuman di dalam gelas sampai tandas.

"Mas, kok nggak jadi jemput simbok," Sri mengulang pertanyaannya.

"Apa sudah nggak ada travel, Mas?" cecar Sri.

"Sri, nggak usah khawatir, simbok jadi kok dijemput, tapi yang ke rumah simbok, Mamad. Aku minta tolong padanya," terang Bram.

"Memang kenapa, kok Mamad yang jemput?" tanya Sri penasaran.

"Karena ... tadi waktu aku tiba di agen, dari spion motor aku melihat pak Bandi bersama anak buahnya, makanya aku urungkan menjemput simbok, demi keamanan," terang laki-laki yang kini telah menjadi imamnya.

"Lalu kira-kira pak Bandi melihat kamu nggak, Mas? Terus dia ngikutin kamu nggak, waktu kamu ke rumah Mamad?" cecar Sri dengan cemas.

"Tenang, Sri. Kamu nggak perlu cemas giti, semua baik-baik saja. Pak Bandi dan anak buahnya, tidak dapat mengikuti aku, karena aku lewat jalan tikus," dengan sabar Bram menenangkan Sri.

"Alhamdulillah, kalau begitu. Semoga kita tidak akan pernah lagi berurusan dengan Bandot itu lagi," ucap Sri.

"Aamiin," jawab Bram.

"O iya, gimana kandunganmu masih sering sakit?" tanya Bram khawatir.

"Nggak, Mas. Hanya tendangan-tendangan kecil dari dede bayi," jawab Sri.

Waktu sudah semakin larut, mereka pun beranjak keperaduannya. Tak lupa Sri mengingatkan Bram untuk salat isya.

"Mas, kamu sudah salat isya?" Sri mengingatkan suaminya.

"O iya Sri, aku belum salat, kamu sendiri?" jawab Bram seraya bertanya.

"Aku udah, Mas. Waktu Mas Bram pulang tadi aku baru selesai salat," terang Sri.

"Ya sudah kamu segera tidur, aku salat dulu," perintahnya.

Sri kemudian menuju tempat tidur dan merebahkan badannya. Tak lupa Sri bermunajat untuk keselamatannya dan kesehatan bayinya saat nanti tiba waktunya melahirkan.

SRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang