Bab 13. Kemarahan Bram

38 1 0
                                    

Sepulang Paimo dari rumah pak Bandi, laki-laki yang pernah nyaris merenggut kesucian Sri, melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Setib di rumah dia bergegas menemui istrinya.

"Prap ... Prapti," panggilnya.

Prapti yang sedang berada di kamar buru-buru menemui, suaminya di ruang tengah.

"Sudah pulang, Kang? Bagaimana pak Bandi, puas ya?" cecar wanita yang sudah hampir 7 tahun mendampinginya.

"Iya, baru saja," jawab Paimo. "Sepertinya pak Bandi puas."

"Bagus deh, kalau begitu," jawab Prapti tanpa penyesalan.

***
Di rumah mewah Sri mendapat kamar berukuran sangat besar dengan perabotan yang mewah, seperti ; Tv dengan ukuran besar, lemari pakaian empat pintu, air conditioner (AC), tempat tidur berukuran besar dengan dua nakas di kiri-kanan dengan lampu tidur yang di letakkan di atasnya.

Ketika Sri hendak merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk, tiba-tiba pintu di ketuk dari luar.

Tok ... tok ... tok.

"Sri, kamu sudah tidur?" tanya pak Bandi dari luar.

Sri yang tidak nenaruh curiga pada pak Bandi, segera beranjak dari tenpat tidurnya dan membukakan pintu kamarnya.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Sri sesaat setelah pintu dibuka.

"Boleh saya masuk dan ngobrol sebentar?" pak Bandi meminta ijin pada wanita ayu nan lugu di hadapannya

"Oh ... boleh, boleh Pak," jawab gadis lugu itu, sambil mempersilahkan maauk.

"Kamu belum tidur, Sri?" tanya pak Bandi basa-basi.

"Belum, Pak. Maaf tadi katanya. Bapak mau ngobrol. Kalau boleh tau soal apa ya?" selidik Sri.

"Bukan soal apa-apa, ini tentang kamu," kata laki-laki tambun tersebut.

"Tentang saya? Maksudnya gimana, Pak?" cecar Sri. "Masalah pekerjasn ya, Pak?"

"Bukan ... bukan masalah pekerjaan Sri, tapi ...," sanggah pak Bandi, tanpa melanjutkan kalimatnya.

"Tapi, apa Pak?" tanya Sri penasaran.

"Hmm ... tentang hubungan kita," jawab laki-laki pengusaha waralaba tersebut.

"Maksud Bapak?" pekik Sri.

"Maksudnya hubungan kamu sama aku, Sri. Apa sebelumnya Prapti nggak kasih tahu kamu?" jawab bandot tua itu seraya bertanya.

"Apa, Pak? Hubungan kita? Tapi mbak Prapti bilang kalau saya di suruh kerja di tempat Bapak," terang Sri berapi-api.

"Iya Sri. Aku mau kamu jadi istri mudaku," kata pak Bandi menerangkan.

"Pak! Ingat, Bapak sudah tua dan sudah punya istri, bagaimana mungkin saya tega menyakiti hati seorang wanita," tukas Sri. "Maaf saya nggak bisa dan nggak mau menerima keinginan Bapak."

Sri bergegas menyambar tasnya, dia ingin segera meninggalkan rumah tersebut, tapi tangan kekar pak Bandi lebih kuat, menahan kepergian wanita ayu itu.

"Sri, kamu nggak bisa pergi begitu saja, karena aku sudah membayar Prapti dengan mahal," hardik laki-laki tua yang masih terlihat handsome tersebut.

"Saya nggak mau, Pak. Saya mau pulang," Sri meronta dan mengiba agar Bandot tua itu mau melepaskannya.

"Nggak bisa, Sri. Lagian kamu mau pulang kemana? Paimo dan Prapti pasti akan memgantarkanmu kembali ke sini," bentak pak Bandi.

"Kalau Bapak nggak mau melepaskan, saya akan berteriak!" ancam Sri.

"Silahkan teriak sekerasnya, nggak akan ada orang yang akan mendengar teriakanmu. Camkan itu!" gertaknya.

***

Sementara itu Bram yang dilanda kasmaran, malam itu gelisah tak menentu. Ingin rasanya dia ke rumah Prapti untuk bertemu pujaan hatinya.

"Kalau nggak mikirin etika bertamu, akan ku datangi rumah mbak Prapti," bisiknya lirih.

'Sri, sedang apa kamu? Aku kangen dan ingin selalu di dekatmu,' batinnya.

"Tunggu aku, Sri. Sampai aku datang ke rumah simbok," gumamnya.

Bram lalu menghabiskan sisa kopinya dan beranjak untuk tidur. Namun tak ada hujan, tak ada angin tiba-tiba gelas yang dia pegang terjatuh dan pecah.

"Astghfirullah," pekiknya. "Ada apa nih, kok perasaanku jadi nggak karuan begini."

Bram kemudian bergegas mendatangi rumah Prapti, dia sudah tidak peduli dengan waktu yang sudah semakin larut. Setiba di rumah berpagar besi dengan cat biru, dia segera mengetuk pintunya.

Di dalam rumah tersebut Paimo masih belum tidur, kemudian dia bergegas menuju arah suara ketukan.

"Maaf, Kang. Kalau malam-malam saya mengganggu istirahatnya," kata pria tampan dengan kumis tipis itu. "Saya hanya ingin memastikan, bahwa Sri baik-baik saja."

"Sri baik-baik saja, dia sudah tidur. Kalau mau ketemu besok pagi saja," jawabnya ketus.

"Alhamdulillah, kalau begitu. Ya sudah Kang, saya pulang dulu," pamit Bram.

'Iya," sahut Paimo.

Bram meninggalkan Paimo, sementara Prapti yang terbangun, karena mendengar ribut-ribut di depan rumahnya, kemudian menghampiri Paimo yang hendak mengunci pintu.

Mendengar Paimo dan Prapti ngobrol, Bram yang hendak keluar dari gerbang, mengurungkan langkahnya dan dengan mengendap dia mendekati pintu rumah tersebut.

"Siapa, Kang yang datang malam-malam begini?" tanya istrinya.

"Itu, Bram. Dia nyari Sri," jawabnya singkat.

"Tapi kamu nggak, cerita kan, Kang?" tanya istrinya lagi.

"Ya nggak lah, gila apa! Kalau sampai Bram tahu Sri nggak ada di rumah, melainkan udah kita jual pada pak Bandi," terang Paimo.

"Bagus kalau gitu, biar mereka nggak bisa ketemu," ucap Prapti.

Bram yang mendengar jelas, obrolan mereka berdua, geram dan mengepalkan tinjunya seakan ingin menghajar Paimo. Tanpa pikir panjang laki-laki yang tengah kasmaran tersebut mengetuk pintu dengan suara lebih keras, karena dia sudah terbakar emosi.

"Kang ... Kang Paimo, buka pintunya!" teriak Bram.

Paimo dan Prapti sontak kaget, ketika mendengar teriakan Bram.

"Kang buka pintunya! Atau saya laporkan Kang Paimo dan Mbak Prapti ke polisi, karena kalian tega menjual Sri, pada  lelaki hidung belang," teriak Bram.

"Satu ... dua ... sampai hitungan ketiga kalian tidak keluar, saya lapor polisi," ancam pria yang terlihat gagah dengan balutan sweter yang lengannya digulung sesiku.

Belum genap dihitungan ketiga suami istri tersebut keluar, sambil berpegangan pada lengan suaminya, Prapti menyembunyikan wajahnya.

"Kang, di mana Sri? Kalau kalian nggak mau mengatakan di mana dia, saya seret kalian ke polisi," ancam Bram sambil mengepalkan tinjunya.

"Ja-jangan Bram, ba-baik saya akan kasih tau di mana Sri," jawab Paimo gemetar.

Setelah digertak Bram sedemikian rupa, Paimo akhirnya mengatakan di mana Sri sekarang tinggal. Kemudian Bram meninggalkan mereka berdua. Dia bergegas menuju alamat yang sudah disebutkan Paimo.

Tanpa membuang waktu, Bram melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dia sudah tidak menghiraukan keselamatannya, yanh ada di pikirannya hanya keselamatan kekasih hatinya.

SRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang