Bab 15. Ketulusan

25 1 0
                                    

Bram yang berhasil membawa kabur Sri, membawanya ke rumahnya. Dia nggak peduli apa kata orang, yang ada dibenaknya hanya ingin memberikan rasa aman dan nyaman.

Sesampai di rumahnya, Bram kemudian menyuruh Sri istirahat, sementara dia membuatkan teh hangat sekedar untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan padanya.

"Sri, ini tehnya diminum dulu," kata Bram seraya memberikan segelas teh hangat pada kekasihnya.

"Terima kasih, Mas," jawab Sri.

"Kamu nggak apa-apa, Sri?" kata Bram sambil membelai rambutnya.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Tapi ...," Sri tidak melanjutkan kata-katanya, dia menangis sesengukan mengingat kejadian itu.

"Tapi ... tapi apa, Sri?" selidiknya penasaran.

"A-aku sudah nggak suci lagi, Mas," Sri membenamkan wajahnya di dada Bram.

Bram yang mendengar penuturan Sri, menghargai kejujurannya, Bram geram dan mengepalkan tinjunya. Dia marah, kecewa dan menyesal. Ingin rasanya dia membantai mereka yang telah merusak masa depan gadisnya.

Namun, rasa cintanya pada Sri mengalahkan semuanya, dia sadar ini adalah musibah dan cobaan bagi hubungan dia dengan Sri.

"Maafkan Aku, Sri. Yang nggak bisa menjagamu setiap saat," sesal Bram.

"Nggak apa-apa,Mas. Aku tahu kamu punya kesibukan dan keperluan sendiri. Harusnya dari awal aku percaya pada firasat simbok, yang terus-terusan membujukku untuk pulang bersamanya," ucap Sri, penuh sesal.

"Sudahlah Sri, nasi sudah menjadi bubur. Apapun keadaan kamu saat ini, tak mengurangi rasa cintaku padamu," jawab Bram meyakinkan.

"Tapi aku sudah kotor, Mas! Aku bukan Sri yang kamu kenal kemarin. Aku sendiri saja benci dan muak melihat diriku, yang sekarang," terang Sri, sambil berlinang airmata.

Usia Bram yang lebih matang dan dewasa, mencoba menenangkan dan meyakinkan Sri, bahwa dirinya akan tetap mencintainya. Dia juga masih bersedia untuk menjadi pendamping Sri.

***
Sementara di rumah Prapti sudah kosong, karena ditinggal pergi penghuninya. Mereka kabur karena takut Bram akan menjebloskannya dalam penjara. Mereka nggak ingin ambisinya untuk menjadi kaya dan tersohor di desanya gagal.

Prapti dan suaminya yang sedang dalam pelariannya, sudah sampai di kota yang dituju. Mereka menyewa sebuah rumah yang cukup luas. Uang pemberian pak Bandi, hasil menjual tubuh Sri pada bandot tua tersebut, rencananya akan dibelikan sebuah rumah sederhana dan membuat usaha. Namun naas, baru sehari dalam pelariannya saat hendak mencari rumah untuk mereka beli, mereka mengalami kecelakaan, karena motor yang dikendarainya menabrak sebuah mobil sedan yang melaju dari arah berlawanan.

Beruntung Prapti hanya mengalami luka ringan, tapi Paimo mengalami luka yang cukup serius, sehingga Paimo harus dirawat cukup lama di rumah sakit.

***
Pagi itu pak Bandi berniat ingin membuat perhitungan dengan Paimo, karena dia merasa rugi, telah mengeluarkan uang puluhan juta, tapi kenyataannya Sri berhasil kabur.

"Tunggu aku, Mo. Aku akan bikin perhitungan sama kamu," ucapnya lirih.

***
Bram masih belum beranjak dari kamarnya, sementara Sri tertidur pulas, Bram sengaja untuk menemani Sri yang sedang shock atas kejadian semalam. Bram tahu, gadis yang dicintainya sedang terguncang jiwanya, maka dari itu, dia belum berani meninggalkannya sendirian.

Sambil menunggu Sri bangun dari tidurnya, Bram menghubungi Mamad, teman kerjanya.

"Mad, bisa ke rumah nggak?" tanya Bram sesaat setelah ponselnya berhasil menghubungi Mamad.

"Ada apa Bram?" tanya Mamad.

"Aku butuh bantuanmu, kamu ke rumah aja dulu, nanti aku jelaskan," terang Bram.

"Baik aku segera ke rumahmu," jawab Mamad mengakhiri obrolannya.

Bram mengamati Sri dalam tidurnya, dia iba dan kasihan melihat gadisnya yang malang. Dia bertekad untuk tidak meninggalkan Sri. Apapun yang terjadi pada wanita yang telah merebut seluruh hatinya, dia akan tetap mencintainya dengan sepenuh hati.

"Mas, jam berapa ini?" tanya Sri.

"Hai ... kamu sudah bangun, Sayang. Baru jam 09.00 wib. Kenapa?" jawab Bram seraya bertanya.

"Kenapa aku nggak dibangunin, Mas? Aku kan harus kerja," ucap Sri.

"Sri, kamu hari ini nggak usah kerja dulu ya!" sergah Bram.

"Tapi aku pingin ngumpulin uang buat simbok berangkat haji, Mas!" rajuknya.

"Sudah itu soal gampang, yang penting hari ini kamu istirahat dulu, sampai kamu pulih," ucap Bram dengan sabar.

Ketika mereka sedang ngobrol, pintu tiba-tiba diketuk dari luar, Sri yang trauma, seketika dia menutup telingannya sambil ketakutan di pinggir tempat tidur.

Bram berusaha menenangkan Sri, dengan menjelaskan kalau yang datang itu Mamad, temannya. Setelah dijelaskan siapa yang datang, Sri mulai tenang dan Bram meninggalkannya sejenak, untuk membukakan pintu.

Mamad yang langsung masuk sesaat pintu dibuka oleh Bram. Mamad kemudian memberondongnya dengan beberapa pertanyaan.

"Bram ... Bram ada apa sebenarnya, sampai kamu pagi-pagi menyuruhku ke rumah?" tanya Mamad penasaran. "Apa ada masalah yang gawat?"

"Tenang dulu, Bro. Duduk dulu," kata Bram.

"Baiklah, ayo cepat ceritakan ada kejadian apa?" tanya Mamad nggak sabar.

"Ini masalah Sri," ucapnya.

"Ada apa dengan Sri?" tanya Mamad menyelidik.

"Sri semalam dijual pada laki-laki tua yang kamu lihat, tempo hari di kampung laut. Dia juga telah merenggut kegadisan Sri dengan paksa," ucap Bram menjelaskan.

"Apa! Siapa yang tega menjual Sri? Jangan bilang, kalau itu Prapti dan suaminya," jawab Mamad geram.

"Iya, suami istri itu sudah menjual Sri pada bandot itu," ucap Bram.

"Sekarang Sri di mana?" tanya Mamad.

"Dia ada di kamar. Dia masih shock dan trauma," terang Bram.

"Lalu apa yang bisa aku bantu sekaranhl?" tanya lelaki cungkring tersebut.

"Aku mau melaporkan kasus ini ke polisi, kamu tolong bantu aku. Biar suami istri itu jera dan nggak berbuat kejam lagi," jelasnya.

"Tapi Bram, apa nggak kasihan Sri kalau kita lapor polisi, otomatis polisi juga akan mencari ke desanya atas kasus ini, dan sudah pasti nama Sri pasti akan kebawa," tukasnya. "Sehingga akan membuat simboknya Sri cemas."

"Begini aja Prapti dan suaminya biar aku yang urus, kamu fokus pada Sri," Mamad memberikan keputusan.

"Baiklah, aku pasrahkan semua padamu, Bro. Terima kasih," jawab Bram.

"Ya sudah aku pulang dulu, nanti kalau ada apa-apa hubungi aku," pamitnya.

Mamad kemudian meninggalkan rumah Bram, entah apa yang akan direncanakan Mamad untuk membuat Prapti dan suaminya jera.

SRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang