Bab 19. Pengakuan

23 1 0
                                    

Sri serasa tak tenang dengan rahasia besar yang dia simpan rapat dari mbok Darmi. Dia ingin sesegera mungkin menceritakan semuanya pada simbok. Bram sama seperti istrinya, semakin hari dia merasa dikejar dosa.

Bram lalu menbicarakan hal ini pada istrinya. Dia juga minta pendapat pada Mamad, sahabatnya. Kemudian mereka berkumpul untuk membicarakan rahasia besar ini pada mbok Darmi.

Mamad sebagai penengah, meminta mbok Darmi duduk bareng mereka. Simbok pun heran tidak biasanya Mamad berbicara serius.

"Mbok, bisa gabung duduk di sini sebentar!" pinta Mamad.

"Ada apa tow ini, kok seperti ada yang serius?" tanya simbok penasaran.

"Nggak ada apa-apa, Mbok. Hanya ngobrol biasa," sanggah Mamad.

Mamad pun mengawali obrolan dengan meminta pendapat simbok, siapa nama yang tepat untuk bayinya Sri.

"Mbok, Simbok udah punya nama belum untuk cucunya?" tanya Mamad.

"Owalah, simbok disuruh duduk itu hanya dimintai urun nama?" ucap simbok.

Mamad lalu tertawa mendengar ucapan simbok. Sri yang duduk di samping Bram tak kuasa membendung bulir bening di manik matanya. Hal ini membuat simbok penasaran, terlebih Sri kemudian berdiri dan bersujud di hadapannya.

"Ini ada apa, Sri?" tanya simbok binggung.

"Mbok, maafkan Sri yang sudah menjadi anak durhaka. Sri siap kalau Simbok mau marah, karena ini akan membuatku lega," ucap Sri sambil sesenggukan.

"Ngomong yang jelas Sri, jangan buat simbokmu ini binggung," kata mbok Darmi.

Bram tak kuasa melihat istrinya yang bersimbah airmata karena penyesalannya. Kemudian Bram mencoba menjelaskan pelan-pelan.

"Begini Mbok. Beberapa bulan setelah Simbok pulang dari rumah mbak Prapti, Sri mengalami musibah," terang Bram. "Sri dijual pada pak Bandi, pengusaha kaya yang ingin menjadikan Sri istri simpanannya.

"Maafkan Bram, Mbok. Bram nggak bisa menyelamatkan Sri dari kejadian perkosaan itu," ucap Bram kembali.

"Ja-jadi benar Paimo dan Prapti itu seorang mucikari?" tanya simbok penuh penyesalan. "Sri ... Sri andai waktu itu kamu mau mendengarkan simbokmu ini ...."

"Maafkan Sri ... maafkan aku Mbok," kata Sri dengan sesenggukan.

"Sri perasaan seorang ibu itu lebih peka, dari awal simbok sudah nggak mengizinkanmu untuk kerja di kota, terlebih kamu ke kota sama Prapti dan suaminya," ucap simbok seraya mengusap bulir bening yang menitik di sudut matanya. "Nasi sudah menjadi bubur, biarlah semua ini jadi pelajaran buatmu Sri."

"Beruntung Nak Bram mau bertanggung jawab dan mengakui anak kamu," ucap simbok. "Kalau nggak, kamu sama aja mencoreng mula simbok?"

Simbok kemudian berterima kasih pada Bram, atas keikhlasannya menerima Sri dan anaknya. Simbok juga menanyakan status perkawinanya. Lalu Bram menjelaskan, bahwa mereka sudah menikah siri.

Bagai mendapat harapan baru, Sri lega, setelah simbok mengetahui musibah yang dia alami. Bahkan, dia bahagia karena simbok sangat bijaksana dalam menghadapi permasalahannya.

Simbok kemudian menanyakan kabar Prapti dan Paimo, pada Bram. Namun yang mbok dengar sungguh di luar dugaan.

"Bram, di mana Prapti dan suaminya sekarang?' tanya simbok.

"Kabar terakhir, mbak Prapti dan Paimo mengalami kecelakaan, Mbok," ucap Bram menerangkan. "Malah katanya kang Paimo lumpuh."

"Astghfirullah, itulah orang yang berambisi kaya, tapi nggak mau kerja keras, hanya bisa memanfaatkan orang yang lemah dan berpendidikan rendah," ucap simbok sambil mengusap dadanya.

"Iya Mbok, terlebih kang Paimo, ternyata selama ini kang Paimo menjadi pengangguran dan mbak Prapti bekerja di salon sekaligus tempat prostitusi," jelas Mamad yang telah menyelidiki Paimo dan istrinya.

"Kasihan mbak Prapti dia jadi tumbal kang Paimo, pantas saja rumah mbak Prapti mewah, karena setiap hari dia melayani pak Bandi, sebagai pelanggan tetapnya," terang Mamad lagi.

Sri merasa iba dengan nasib Prapti, tapi dia juga nggak bisa memungkiri hati kecilnya, bahwa dia sangat benci pada Prapti yang sudah menjerumuskannya.

Namun simbok yang lebih bijak, menghibur Sri, "Sudahlah Sri yang lalu biarlah berlalu, sekarang yang terpenting bagaimana kamu menjalani kehidupanmu bersama Nak Bram."

"Iya Mbok, Sri bersyukur karena Mas Bram, mau menerima Sri dan bayi ini," jawab Sri.

Bram dan Mamad tersenyum dan lega menyaksikan ibu dan anak saling berpelukan dan menguatkan. Namun masih ada ketakutan Bram, dia takut pak Bandi akan menuntut balas pada dirinya dan akan merebut Sri, jika tahu Sri mempunyai anak darinya.

***
Prapti yang setiap hari harus mengantar suaminya terapi, harus menerima kenyataan, bahwa harta yang dia miliki sedikit demi sedikit habis. Prapti juga mulai bosan harus mengurus suaminya yang lumpuh. Terlebih bila dia menginggat perlakuannya yang sudah menjadikannya sapi perahan.

Prapti mulai berpikir ingin meninggalkan laki-laki yang tak berguna tersebut. Dia merasa, bahwa lebih baik dia meninggalkannya dan menjadi simpanan pak Bandi, orang yang selama ini mencintainya dan mencukupi kebutuhan hidupnya.

"Kang aku jenuh di rumah terus, sampai kapan kita akan seperti ini?" pancing Prapti.

"Sabar, Ti. Nanti kalau keadaanku sudah mendingan dan aku sudah bisa berjalan lagi, kamu bisa bekerja lagi di salon itu," hibur Paimo.

"Tapi sampai kapan Kang, kamu akan sembuh, aku capek, lebih baik aku pergi saja dari sini, aku mau mau cari pak Bandi, biar saja aku yang mengantikan Sri menjadi simpanannya," ucap Prapti dengan nada tinggi.

"Lagian selama ini yang mencukupi kehidupan kita juga pak Bandi, karena setiap hari aku juga yang memuaskan nafsu pak Bandi," ucap Prapti lagi.

"Jadi selama ini kamu kerja di salon hanya kedok saja?" tanya Paimo.

"Iya ... kenapa? Kamu nggak terima? Bukannya ini 'kan yang kamu mau dari aku?" jawab Prapti lantang.

Paimo hanya tertunduk lesu, karena selama ini memang Prapti lah yang telah memenuhi kebutuhannya. Paimo sebagai kepala keluarga sangat malas bekerja, setiap hari dia hanya bermain judi di sebuah warung, sambil menunggu istrinya pulang kerja.

Prapti sudah mengemasi semua barangnya, dia membawa semua uang hasil jual rumah dan sisa uang yang diberi pak Bandi. Tidak sedikit pun, uang tersebut dia sisakan untuk Paimo.

Tepat selepas isya Prapti meninggalkan Paimo yang tengah terlelap dalam tidurnya. Tujuan Prapti adalah salon tempat dia bekerja, di sana dia berharap bisa bertemu pak Bandi.

Benar saja apa yang dipikirkan Prapti, ketika dia baru turun dari taksi yang dia tumpangi, pak Bandi baru saja memarkirkan mobilnya. Prapti buru-buru menghampiri pak Bandi. Dia bersimpuh dan meminta maaf atas apa yang sudah terjadi. Namun apa yang dilakukan pak Bandi?

Bersambung

SRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang